Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Reformasi 1998: Awal "Kudeta" oleh DPR

1 Juni 2016   14:55 Diperbarui: 1 Juni 2016   15:05 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Reformasi merupakan titik puncak keruntuhan Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan secara sukarela. Memang ada keadaan yang memaksa seperti demonstrasi dan kerusuhan di mana-mana, tetapi pilihan mundur diambil secara sukarela. Karena pilihan lain yang melibatkan militer hanya akan menjadikan banyaknya korban di pihak rakyat.

Citra Orde Baru yang cenderung otoriter seakan menorehkan trauma mendalam pada sebagian rakyat Indonesia, terutama para praktisi politik. Masa Orde Baru dicirikan oleh kuatnya kedudukan presiden sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Kolusi, korupsi, dan nepotisme alias KKN merupakan jargon kebobrokan yang sering dianggap mewakili profil dan suasana ORBA, selain otoriternya penguasa tentunya. Oleh karenanya reformasi dianggap momentum tepat untuk mengurangi kekuasaan presiden dan mencegah terjadinya kembali otoritarian dalam sistem pemerintahan.

Sayangnya, pengurangan kekuasaan presiden ini 'dialirkan' ke DPR yang ternyata sekadar menunggu giliran untuk berkuasa. Hal ini terlihat jelas pada amandemen beberapa pasal dalam UUD 1945 yang menegaskan kuatnya DPR dan mandulnya MPR karena bukan lagi pelaksana sepenuhnya atas kedaulatan rakyat. Fakta ikutannya bisa diamati belakangan, bahwa "komplemen" DPR di MPR terindikasi akan dipusokan sedemikian sehingga  suaranya dapat diabaikan.

Tanpa disadari, perpindahan kekuasaan ke DPR ini menggeser fakta kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan hukum belaka. Karena DPR merupakan lembaga legislatif pembuat undang-undang, maka DPR cenderung menjadikan undang-undang yang mereka buat sebagai alat untuk berkuasa. Ya, berkuasa lewat jalur legislasi. Strateginya adalah dengan slogan menempatkan hukum sebagai panglima dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hukum-hukum strategis yang akan jadi panglima itu harus selalu melewati persetujuan DPR.

Bukti membesarnya kekuasaan DPR  juga makin nyata dengan adanya hak "mengelola" anggaran negara. DPR mengajukan "proyek-proyek" legislasi yang cukup tinggi menyerap kuota anggaran negara dengan mengabaikan aspek urgensi dan efisiensi.

Salah satu bukti atau indikasi awal "kudeta" oleh DPR (melalui MPR) adalah pencabutan Tap MPR no II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dengan dikeluarkannya Tap MPR XVIII/MPR/1998. Entah apa alasan sebenarnya Tap MPR tentang Ekaprasetia Pancakarsa itu dicabut. Dalam pertimbangannya, Tap MPR XVIII/MPR/1998 mencantumkan beberapa alasan, di antaranya poin b menyatakan

"bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) yang materi muatan dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara, perlu dicabut"

Mengapa perlu dicabut? Apa urgensinya? Salahkah ajaran toleransi? Salahkah ajaran tenggang rasa? Salahkah ajaran hidup sederhana yang tidak bergaya hidup mewah? Sepertinya tak ada yang salah dengan ajaran-ajaran itu. Lalu kenapa?

Pencabutan Tap MPR no II/MPR/1978 dapat ditengarai sebagai aksi positioning secara kelembagaan, pra-amandemen UUD 1945. ORBA diakhiri, Soeharto berhenti, hartanya dikritisi sebagai hasil korupsi, produk hukum di masanya pun dipreteli untuk mengesankan lembaga negara ini sekarang pro-reformasi. Tak lebih dari sekadar pencitraan untuk mendapat dukungan legitimasi. Atau mungkin semacam test case, euforia, atau show of force, memamerkan kekuatan dewan dan majelis di era reformasi yang tak lagi terintimidasi kepala pemerintahan. Lembaga era ORBA itu  semaunya sendiri main cabut hasil legislasi masa lalu tanpa ada lagi yang mampu menghalangi. Dalam perjalanan waktu, posisi DPR pun menguat secara signifikan, nyaris tak terkendalikan.

Kalaulah sekarang ini ditengarai masih ada anasir-anasir ORBA yang bercokol dan terkesan membebani iklim demokrasi dan pembangunan negeri, salah satu pintu gerbang emasnya yang harus diwaspadai adalah lembaga legislasi itu. Indikasinya jelas, memperkuat diri dan melemahkan "rival-rivalnya". Kepala eksekutif yang pemilihannya dikembalikan pada rakyat secara langsung jelas jadi rival utama karena bisa muncul tanpa kena sensor mereka. Namun, pemimpin strategis lain semacam Kapolri, Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, pimpinan KPK, serta beberapa pejabat publik strategis lainnya tetap harus lewat "sensor" DPR.

Di era reformasi yang sebenarnya lebih cenderung pada legislative supremacy ini, masa jabatan Kepala Negara dibatasi maksimal dua periode, masa jabatan anggota legislatif tidak dibatasi. Setelah purna tugas bisa dipilih dan dipilih lagi sampai mati, baik melalui parpol yang sama maupun berganti-ganti. Meski ada internal partai yang konon membatasi masa jabatan kadernya di dewan legislatif hanya maksimal dua periode, anggota legislatif tersebut bisa pindah ke partai lain untuk mencalonkan diri lagi. 

Jadi kalau memang mau dibatasi, harus dengan undang-undang yang mengikat semua kandidat; tapi siapa yang mau membuat aturan pembatasan masa jabatan anggota dewan? DPR? Mungkin saja. Jangan terlalu buruk berprasangka. Tapi barternya pastinya ada. Manusia mana yang ikhlas dikurangi pemasukannya tanpa imbal jasa/harta. Mungkin minta gaji, bonus, dan fasilitas dua kali lipat dari normalnya. Barulah mereka akan meloloskan aturan pembatasan masa jabatan itu. Memang kuat sekali kedudukan mereka, super sekali, karena mereka sendiri yang membuat aturannya. Sebenarnya mereka inilah yang "superbody", makanya KPK ditahan dan dilemahkan agar jangan sampai menyaingi. Kalau bisa jangan sampai ada yang mengawasi atau menghalangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun