Dalam sebuah salat Jumat seorang khatib dengan berapi-api menjelaskan betapa jahat dan nistanya pemimpin orde baru, Soeharto.
"Di masa itu tak ada kebebasan berpendapat. Hak asasi masyarakat dipasung, bahkan beribadah pun masyarakat merasa was-was. Karena Soeharto yang diktator itu menyebar intelnya di semua tempat.Salah omong sedikit saja bisa jadi keesokan harinya ia dijemput paksa oleh tentara dan mungkin tidak bisa kembali lagi pada keluarganya. Maka dakwah pun tak bisa berkembang seperti sekarang…"
Seorang bapak tua beruban dan berjenggot tiba-tiba terbatuk-batuk, menunduk, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku yang duduk berjarak sekitar tiga orang di sebelah kirinya melihatnya seperti menahan geli dan ingin sekali tertawa. Beberapa kali pipinya sampai menggembung seperti balon.
Jelas aku penasaran. Tanpa sengaja aku mengamati dinding di dekatnya. Aha, tentu saja! Ia kebetulan duduk di ujung shaf, menempel tembok. Dan tembok di sisinya itu kebetulan tempat terpasangnya prasasti marmer bertuliskan:
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA MASJID INI DIBANGUN OLEH DAN MERUPAKAN SUMBANGAN DARI YAYASAN AMAL BAKTI MUSLIM PANCASILA.
Dan di bagian kanan bawah prasasti itu terukir tanda tangan ketua umum Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila itu. Soeharto namanya.
Khatibnya masih muda. Jadi, aku maklumi saja. Mungkin banyak membaca.