Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lailatul Qodar, Malamnya Zona Waktu Mana?

26 Juni 2016   21:29 Diperbarui: 26 Juni 2016   21:41 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.pd4pic.com

Lailatul Qodar selalu ramai dibicarakan menjelang sepuluh hari terakhir Ramadan hingga beberapa saat sebelum Lebaran. Umat Islam berlomba-lomba mendapatkannya. Meski tak yakin wujudnya seperti apa, "hadiah" yang setara pahala 1000 bulan ibadah memang nyata-nyata menggoda. Maka segala tips pun dicoba, segala referensi dibaca. Lupa menerapkan konsep 5W plus H. Tak waspada jika apa yang coba diyakini menyisakan sedikit ketidaksesuaian logika meski sangat sederhana. Yang saya maksud adalah belenggu peradaban yang sengaja diabaikan atau justru tak pernah terpikirkan.

Zaman dulu waktu dianggap seragam alias universal. Siang di sini, siang pula seluruh bumi dan alam semesta. Malam di Saudi Arabia, malam pula seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat, Norwegia, dan Indonesia. Tapi anggapan itu sebenarnya sudah dikoreksi sejak lama. Waktu bumi dibagi menjadi 24 zona yang masing-masing berselisih satu jam dengan zona sebelahnya. Artinya, pagi – siang – sore – dan malam bersifat lokal. Malam di sini, tempat lain bisa jadi sedang siang hari, atau sebaliknya. Jadi, kalau sekarang ada yang menceritakan bahwa suatu peritiwa akan terjadi pada waktu malam, kita bisa mempertanyakan "malam zona waktu mana?" Bukankah siaran langsung sepakbola Piala Eropa dan Copa America sudah mengajarkan pada kita semua?

Menurut sejarahnya, Lailatul Qodar terjadi di malam hari waktu Arab Saudi. Berdasarkan pengetahuan manusia sekarang, bisa saja itu dikonversi menjadi paginya Indonesia, menjelang fajar tiba. Tapi kalau pagi, namanya bukan "lailatul" lagi, mungkin "fajriatul".

Memang, Lailatul Qodar merupakan rahasia Tuhan. Tapi bukan berarti manusia tidak boleh memikirkan. Karena akal pikiran itu karunia Tuhan, menggunakannya dengan baik merupakan sebuah kewajiban. Minimal supaya tidak jadi objek tipuan dan pembohongan. Karena sekali saja logika diserahkan pada ketidaktahuan, akan banyak sekali potensi kesalahan yang tidak lagi dapat disadari atau dirasakan.

Mari bayangkan, saat di suatu tempat sedang malam, margasatwa tak berbunyi, gunung-gunung menahan nafasnya, dan angin pun berhenti seperti dalam lirik lagu yang pernah dibawakan Bimbo dan juga Gigi; di belahan bumi sebaliknya sana pada saat yang sama manusia beraktivitas siang hari seperti biasanya, seperti tak ada kejadian apapun yang istimewa. Karena waktu malam bersifat lokal, tidak universal. Lalu sebenarnya Lailatul Qodar yang akan kita tunggu dan tangkap itu apa, siapa, di mana, yang mana, kapan, dan bagaimana cara menangkapnya? Dan mengapa kita ikut-ikutan begitu saja jika belum memiliki pengetahuan tentangnya? (Untuk hal yang membingungkan, W-nya perlu ditambah "Which" sehingga menjadi 6W)

Terminologi 1000 bulan sudah dikonversi menjadi sekira 80,4 tahun oleh para ustad dalam berbagai pengajian, tetapi konversi kerangka waktu acuannya tak pernah dijelaskan. Jadinya membingungkan bagi yang serius ingin mendapatkan pemahaman.

Fenomena waktu buka puasa alias maghrib yang berbeda-beda, bagian timur lebih dulu mengalami daripada bagian baratnya, akankah berlaku juga untuk malam seribu bulan? Apakah malam seribu bulan itu juga "berkeliling seperti halnya matahari" demi pemerataan dan keadilan? Maka kalau Lailatul Qodar  turun di Indonesia, muslim yang di Arab sana masih bisa berharap mendapatkannya juga 4 jam kemudian?

Agama manapun pastinya paling sempurna bagi para pemeluknya. Maka hal yang eternallydebatable sebaiknya dimasukkan dalam ranah simbolis atau filosofis, di mana semua hal bisa dicarikan skenario alternatifnya.

Jika dimaknai secara simbolis, lailatul qodar justru dapat menyentuh segala dimensi ibadah, baik dimensi waktu maupun tempat, dimensi fisik maupun psikis. Akan tetapi, jika dimaknai secara fisik (di-makhluk-kan), untuk bisa "menangkapnya" sepertinya harus standby di Arab Saudi atau di daerah yang sewaktu dengannya, tidak bisa di sembarang lokasi. Karena yang bersifat fisik pasti butuh ruang dan waktu yang definitif – tidak bisa ambigu.

Last but not least, boleh saja dikatakan bahwa "kebenaran" Lailatul Qodar bersifat mutlak. Namun, kebenaran itu masih perlu ditafsirkan. Dan memang penafsiran itu yang bisa atau justru harus fleksibel dan up to date menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Jangan sampai penafsiran terbaru masih berlandaskan konsep datarnya bumi dan seragamnya waktu matahari di seluruh permukaan bumi. Perlukah itu diwaspadai? Perlukah pemahaman yang sudah kaprah di masyarakat itu direvisi? Jawabnya tentu terserah pada yang ditanyai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun