Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Jadikan Hukum sebagai Panglima

3 Juni 2016   01:09 Diperbarui: 3 Juni 2016   08:45 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Secara umum, hukum tertulis merupakan buatan manusia yang digunakan untuk mengatur manusia. Lepas dari sudah tertulis atau belum, sudah pernah dipraktikkan atau belum, keberadaan hukum itu sendiri sebenarnya mengikuti keberadaan manusia. Hukum manusia ada sejak manusia itu ada.

Oleh karena hukum itu ada sejak manusia ada dan sejarah komunikasi menerangkan bahwa komunikasi yang pertama kali digunakan bukan komunikasi tertulis, maka keberadaan hukum manusia tidak terbatas pada yang (sudah) tertulis saja.

Namun, di era modern dan demokratis, istilah hukum dipahami sebagai undang-undang yang tertulis dalam berbagai kitab hukum maupun dokumen hukum lain sejenisnya. Hal-hal yang tidak/belum tertulis dalam kitab hukum atau dokumen lain tersebut dianggap belum ada hukumnya. Di sinilah sumber masalahnya.

Belajar Hukum, Bukan Belajar Kebijaksanaan

Orang belajar hukum di fakultas hukum untuk mempelajari hukum-hukum yang sudah ada, penerapannya, serta penggunaannya dari sudut pandang berbagai profesi kehukuman, khususnya profesi hakim, jaksa, dan pengacara. Sayangnya, mahasiswa hukum tidak diajari secara khusus tentang wisdom aka kebijaksanaan. Sejak awal mereka dicekoki doktrin bahwa hukum harus dijadikan panglima dalam bermasyarakat dan bernegara. Padahal, hukum itu ditulis untuk mendekat sedekat mungkin pada kebijaksanaan. Hukum ditulis karena adanya kekhawatiran jika raja atau penguasa tidak bisa berlaku bijaksana sebagai pengadil maupun sebagai pemimpin pemerintahan. Dan sebagai salah satu parameternya hukum diwajibkan memuat asas keadilan.

Keadilan dan kebijaksanaan itu berbeda, karena adil dan bijaksana juga berbeda. Adil itu relatif, bisa dilihat dari salah satu sisi saja. Jika dua pihak A dan B bertikai, maka adil menurut A belum tentu adil menurut B atau sebaliknya. Sementara sifat bijaksana tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Kebijaksanaan harus dilihat dari semua sisi, bahkan di luarnya.

Negara Hukum Bukan Berarti Harus Terdikte Hukum

Selain menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, konstitusi negara kita juga menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat). Tapi tidak ada pernyataan eksplisit bahwa Indonesia menganut asas kedaulatan hukum. Yang ada adalah pernyataan eksplisit bahwa Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat. Dengan demikian, asas kedaulatan rakyat mestinya berada di atas asas hukum, bukan di bawahnya, apalagi di bawah hukum tertulis.

Sejalan dengan pendapat bahwa hukum dibuat untuk kemaslahatan, jika suatu saat pemberlakuan suatu hukum berpotensi merusak kemaslahatan, maka hukum itu harus diabaikan. Kebijaksanaan yang berlatar budaya kerakyatan harus diutamakan daripada hukum-hukuman. Istilah asingnya yang sepadan adalah "salus populi suprema lex esto"atau "let the welfare of the people be the supreme law"(Sumber: www.merriam-webster. com)

Karena itulah mestinya:

  • Polisi "melepaskan" pengendara motor yang memboncengkan ibu hamil yang hendak melahirkan meski pengendara itu dan yang diboncengnya tidak menggunakan helm serta tidak membawa SIM dan STNK, kecuali polisi itu mau membantu mengantarkan ibu hamil itu ke rumah sakit atau bidan. Karena kemanusiaan dan kebijaksanaan jauh lebih tinggi tingkatannya daripada pemberlakuan undang-undang lalu lintas.
  • Hakim memutus bebas seorang nenek tua yang dituduh mencuri kayu milik anaknya sendiri atau memberinya hukuman ringan saja. Karena kemanusiaan dan kebijaksanaan harus lebih diutamakan daripada penerapan KUHP.
  • Polisi tidak perlu memproses secara hukum guru yang mencubit muridnya, kecuali murid tersebut kemudian sakit parah atau bahkan meninggal akibat cubitan tersebut. Karena keselamatan dan ketenteraman masyarakat banyak harus lebih diutamakan daripada memberi hukuman yang meski sesuai KUHP, tetapi justru mencederai rasa keadilan masyarakat.
  • Tahu diri dan tahu malu mestinya lebih diutamakan daripada ketakutan pada hukum(an).

Saat hukum benar-benar dijadikan panglima, maka hakim tak perlu bijaksana, cukup hapal teori dan penerapannya saja, lalu cari informasi putusan-putusan "ekstrem" hakim lain yang pernah ada di dunia untuk suatu saat dipakai jika teorinya belum ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun