Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahok, Si Baladewa

23 April 2016   19:50 Diperbarui: 23 April 2016   19:59 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dunia pewayangan. (Sumber: zouchmagazine.com)"][/caption]Jangan tertawa. Tidak sembarangan saya menyatakannya. Itu sudah saya sesuaikan dengan karakternya. Baladewa yang saya maksud memang tokoh wayang. Anak dari Basudewa, kakak dari Kresna dan Sembadra, serta saudara sepupu dari para Pandawa dari jalur ibu. Kunti, ibu dari Pandawa (tepatnya ibu dari Puntadewa, Bima, dan Arjuna) adalah adik dari Basudewa.  

Berbeda dengan Kresna yang biasa bicara santun, politis, dan cermat, Baladewa cenderung terbiasa bicara keras, lugas, dan meledak-ledak. Sumbu pendek karakternya. Mudah naik darah dan terpicu amarahnya. Saat marah, tak terkontrol kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tak peduli ia sedang berhadapan dengan siapa, kalau mau memaki ya memaki saja. Di dunia pedalangan, gaya memaki Baladewa kadang tak dibedakan dengan gaya memaki Dasamuka alias Rahwana. Hanya saja ada satu makian khas yang menandai puncak kemarahannya, yaitu: GLANDHANG NANGGALA‼

Nanggala itu nama senjata andalannya. Senjata dengan ujung tajam pada kedua sisinya. Senjata yang sudah menyatu atau manuksma dalam dirinya. Ia tak terlihat membawa senjata, tapi dengan menggosokkan kedua telapak tangannya sambil merapal mantera, muncullah senjata nanggala  dalam genggamannya. Jangankan manusia, batu pun akan terbelah terkena ujung nanggala. Dalam pedalangan efek senjata tersebut sering dihiperboliskan dengan "gunung jugrug, segara asat" (gunung akan runtuh dan laut akan mengering). Bisa dibayangkan jika Baladewa benar-benar melaksanakan makian "glandhang nanggala" pada manusia yang jadi objek kemarahannya, niscaya tubuh orang itu akan tercabik-cabik dan terseret-seret. Karena kata "glandhang" berarti menyeret paksa.

Ada banyak makian lain ala Baladewa sebenarnya, misalnya: druhun, keparat, bedhagan, belis laknat, setan, dan  kepanjingan jajalanak. Semua itu kata makian yang sangat kasar dalam bahasa Jawa. Saat secara dinamik dilafalkan pada level  fortissimo forte, pasti menyakitkan hati orang yang dimakinya. Meski demikian, banyak yang lebih memilih lari membawa sakit hati daripada melawannya lalu mati.

Namun, dibalik kekasaran dan kekejamannya itu, Baladewa merupakan pribadi yang jujur. Bersih hatinya tanpa tipu muslihat. Kulitnya diceritakan putih, tapi hal itu justru membuatnya resah. Hanya Bima dan Antasena yang boleh memanggilnya "bule". (Dua orang ini tokoh jujur juga, saking jujurnya hingga digambarkan tidak bisa tata krama). Selain oleh dua orang itu, sebutan "bule" akan dianggap menghina oleh Baladewa.

Saat Baladewa marah, hanya satu orang yang bisa mengendalikan dan meredakannya. Orang itu adalah Kresna, adiknya yang terkenal arif bijaksana. Berbeda dengan Baladewa yang berkulit putih, Kresna justru berkulit gelap dengan perawakan cenderung ceking.

Nah, bukankah gaya marah Baladewa itu sama dengan gaya marah Ahok atau Basuki Tjahaya Purnama Gubernur DKI Jakarta? Gaya marahnya loh, yaa. Kalau jujurnya? Tergantung siapa yang mau menilainya sekarang. Anggota simpingan kiri atau simpingan kanan dalam pewayangan. Mudah saja menebaknya.

Oh, iya. Itu dalam gambar Baladewa belum datang. Masih sibuk ngurusi banjir dan kinerja aparat. Maklum lagi jadi pejabat. Meski banyak omong, kalau ada kegiatan juga harus banyak terlibat demi rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun