Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wayang Tikus

23 Juni 2019   08:51 Diperbarui: 23 Juni 2019   08:55 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu, saat alam sekitar belum terlalu terang, aku menyusuri seruas jalan beraspal. Suasananya agak lengang, kendaraan kulajukan cukup lamban hingga aku merasa bebas dan aman untuk nikmati pemandangan permukaan jalan yang rata dan bersih nun belasan meter di depan. Saat itulah aku melihat suatu keanehan.

Seekor tikus besar tiba-tiba terlihat melayang di atas permukaan jalan. Bergerak melenggak-lenggok sebentar lalu hilang. Lalu muncul lagi di tempat yang sama, di titik yang sama. 

Kali ini hanya sekilas tampak, lalu menghilang lagi. Lalu muncul lagi. Makin dekat baru kusadari kalau itu bukan tikus betulan. Hanya bayangan. Begitulah saat itu kusimpulkan.

Namun, saat itu matahari belum juga menyapukan sinar putihnya. Bagaimana mungkin ada bayangan? Sementara sebagian lampu jalan yang masih tampak menyala pun sudah tak lagi terlihat manfaatnya sama sekali. Lantas tadi itu apa? Apakah anak-anak masa depan yang sedang iseng mampir ke masa kini untuk memamerkan teknologi hologram yang mereka mainkan? Belum jelas. Aku makin mendekati titik lokasi sumber rasa penasaran.

Tiba-tiba fenomena itu muncul lagi. Bayangan sesosok tikus lengkap. Ada kepala, badan, kaki, dan ekornya. Tapi gepeng. Salah satu kaki belakangnya sedikit terbenam di aspal. 

Saat angin bertiup, entah angin alami atau angin akibat kendaraan melintas, sosok itu akan berdiri meliuk-liuk di permukaan jalan dengan bertumpu pada kaki belakang yang tertanam sebagian. M

irip sekali dengan wayang kulit meski tanpa tangkai. Wayang kulit ... tikus? Siapa yang membuat dan memasangnya di situ? Seniman instalasi-kah? Karena itu tadi nyata sekali. Keren. Benar-benar wow. Ada juga elemen surprise di situ. Karena kemarin setahuku belum ada.

Sambil berpikir tentang itu aku lanjutkan aksiku menyusuri jalan. Hingga sampai pada sebuah pertigaan. Aku berbelok ke kanan, ke arah jalan yang tidak lagi berbalut aspal. Jalan yang lebih keras, "korban" masifnya pembangunan infrastruktur. Itu jalan beton. Bukan yang berbayar.

Tampak agak jauh di depan seonggok benda hitam menodai kebersihan jalan. Wayang tikus lagi? Sepertinya bukan. Yang ini memiliki ketebalan. Tidak gepeng. Makin dekat makin jelas kelihatan. Tikus juga. Besar dan gemuk. Sudah tidak bernyawa. Pastinya. Sudah mati sebelum berada di sana. 

Mungkin sore nanti ia akan selesai bertransformasi. Jadi wayang seperti koleganya yang kulihat sebelumnya. Jadi wayang bukan oleh palu dan pahat ukir seorang seniman, melainkan oleh tempaan roda-roda kendaraan yang berlalu lalang.

Dengan lincah kuhindarkan roda kendaraaku dari melindasnya. Aku tak tega. Itu terlalu kejam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun