Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Paksa Anak-anak Tahu Makna

2 Mei 2016   21:51 Diperbarui: 2 Mei 2016   21:58 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di era 80 – 90-an, anak-anak masih memiliki banyak lagu untuk dinyanyikan. Lagu mereka, bukan lagu orang dewasa. Meski orang dewasa yang menyanyikannya, tetap lagu anak-anak namanya. Sebaliknya, meski anak-anak yang menyanyikannya, lagu dewasa tetaplah lagu dewasa, sebagian tidak pantas dinyanyikan oleh anak-anak; menurut orang dewasa.

Fenomena anak-anak menyanyikan lagu orang dewasa sebenarnya hanya "mengganggu" orang dewasa yang kebetulan peduli. Karena anak-anak sendiri tidak tahu makna lagu yang dinyanyikannya, sekalipun itu lagu anak-anak. Saya tulis  "makna", bukan sekadar arti. Kalau sekadar arti kata-kata mungkin tahu meski tak semua, tapi soal makna hanya orang dewasa yang mampu memahaminya.

Saya punya pengalaman "ingatan" masa kecil di mana saya hapal banyak lagu-lagu dewasa, menyanyikan lagu-lagu dewasa tanpa tahu maknanya. Sekadar ingat urutan kata dan nadanya saja. Jangankan lagu dewasa yang kosa katanya biasanya rumit, lagu anak-anak saja saya sering gagal paham. Lagu-lagu nasional pun sebenarnya masih terlalu rumit bagi anak-anak. Masih terlalu rumit untuk dipahami. Kalau sekadar dihapal dan dinyanyikan sih, tak terlalu sulit.

Bagi anak-anak, termasuk saya, bunyi lebih penting daripada arti. Oleh karenanya di masa kecil saya sudah biasa ditemui anak-anak menyanyikan bagian akhir lagu Garuda Pancasila dengan lafal "pribang-pribangsaku".. padahal seharusnya "pribadi bangsaku". Anak-anak mendengarnya begitu, sementara orangtuanya tidak begitu tahu soal lagu, kurang bisa membantu tugas guru dalam hal itu.

Pada masa itu lagu-lagu diajarkan secara lisan. Karena murid TK dan SD awal banyak yang belum bisa membaca tulisan. Makin sulitlah memahami lagu mesti sudah dihapal; karena pemenggalan katanya tidak jelas. Seperti kata-kata dalam lagu "Hyme Guru" yang sempat membuat saya bingung bertahun-tahun.

 Saya bingung apa artinya "kutuk pengabdian". Kalau "terpujilah" saya sudah tahu artinya bagus, tetapi mengapa ada "kutuk pengabdian"? Istilah "kutuk" saat itu saya pahami sebagai sesuatu yang "buruk", contohnya kutuk yang menimpa Malin Kundang. Beberapa tahun kemudian baru saya "ngeh" kalau ternyata "ku" dan "tuk" itu bukan sebuah kata, melainkan bagian dari dua kata yang berbeda. Lirik tepatnya adalah: " sbagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu…".

Waktu itu saya juga tak tahu apa artinya prasasti, tapi saya abaikan saja karena sama sekali tak ada bayangan tentang kata itu di benak saya, tak bisa mengira-ira. Kata "sanubari" dalam lagu Hymne Guru juga tak saya pahami artinya. Saya pikir ada hubungannya dengan nenek-nenek tetangga saya; bisa jadi beliau jadi guru sewaktu muda; tapi nama beliau Sanuri, tidak pakai "ba".

Begitulah seingat saya. Jika daya nalar saya mewakili daya nalar anak-anak pada umumnya, maka berarti anak-anak memang belum bisa mengerti makna. Bisa meniru merangkai kata, tapi soal makna masih kabur tak terbaca. Mungkin karena level makna masih terlihat "abstrak" bagi anak-anak. Makanya lebih cocok diajari dengan contoh/teladan daripada sekadar diceramahi ala belajar filosofi.

Sekali lagi, anak-anak belum mampu memahami makna. Bisa hapal rangkaian ribuan kata, tetapi tidak untuk memahami maknanya. Maka saya bersyukur acara dai cilik di televisi sudah tak ada. Itu acara di mana anak-anak "dipaksa" ceramah mengupas makna nilai-nilai agama tanpa mereka sendiri tahu artinya apa. Itu tak beda dengan menyaksikan anak-anak menyanyikan lagu-lagu dewasa, sebenarnya. Bahkan lebih gawat lagi. Karena Kitab Suci seakan jadi barang mainan mereka. Kitab suci itu pastinya diperuntukkan bagi orang dewasa sehingga syarat untuk memeluk agama adalah akil baligh usianya.

 Tentu karena isi, kosa kata, maupun makna yang terkandung di dalam kitab suci benar-benar konsumsi orang yang sudah dewasa akalnya. Hanya saja, mungkin karena kitab suci ditulis bukan dalam bahasa Indonesia sehingga tidak "ketahuan" jika anak-anak itu melafadzkan konten 'dewasa' dari kitab sucinya. Dai cilik dan hafiz cilik memang membanggakan dan mengagumkan dari sisi kemampuan. Tapi bijaksanakah jika kemampuan anak-anak kecil dalam hal seperti itu dilombakan? Atau KPAI sudah melakukan kajian?

*Sekadar pandangan dari kacamata yang mungkin tak biasa.

–-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun