Mohon tunggu...
giwang dinar
giwang dinar Mohon Tunggu... Lainnya - halo!

semoga apa yang saya tulis dapat mendeskripsikan siapa saya dan apa yang saya rasakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Sore

31 Oktober 2022   13:53 Diperbarui: 2 November 2022   06:44 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari terlihat mengintip di ujung awan gelap, siang tadi hujan dan beruntungnya dia segera berakhir saat waktu pulang ku tiba. Di setiap langkah kaki kuinjakkan, sehelai rambut terhembus syahdu diikuti dengan helai lain membuat aku berjalan seperti seekor siput yang enggan pulang ke tempat asalnya. Langit benar - benar indah sore itu, burung - burung seperti menari mengikuti suara angin, jalanan kota sepi tidak ada pengendara yang serabutan menjalankan kendaraannya. 

Aku tinggal tidak jauh dari sekolah, fakta itu membuatku berangkat dan pulang dengan transpotasi kedua kaki yang aku miliki. Itu menyenangkan, aku bisa menikmati secuil keindahan yang selalu ada di momen - momen remeh. Di sore yang sama, aku menemukan hal yang berbeda, yang baru kali ini ku temui keberadaanya setelah berkali - kali aku melewati jalan ini. Terlihat seorang anak kecil yang terduduk di pinggiran jalan dengan setumpuk koran di sampingnya. Sebenarnya pemandangan ini sering pasti kita temui di pinggiran jalan apalagi pada lampu merah dimana kendaraan berhenti mengantri giliran menyebrang jalan. Namun pemandangan itu asing bagi daerah ini. Sepinya kendaraan yang berlalu - lalang membuat para pedagang koran enggan singgah mendagangkan korannya pada jalan ini. 

Rasa penasaran ku menimbulkan ekspresi bingung pada anak kecil itu, dimana sekarang aku sudah berdiri tepat disebelahnya. 

"Mau beli koran kak?" anak itu berdiri, menawarkan korannya. "Eh tidak, kamu baru jualan disini ya" untuk mencairkan suasana aku memulai obrolan dan duduk disebelah anak itu. "Iya kak, baru hari ini" berisik mesin kendaraan yang berlalu lalang terhiraukan. "Disini jalanannya sepi ada sih beberapa kendaraan yang lalu - lalang, tapi sekalinya lewat langsung hilang saking kecangnya" ucapku tanpa basa - basi. "Justru itu kak, aku jualan disini karena sepi, biasanya kalo rame kendaraan, banyak pedagang koran lain dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka yang lebih tua mengambil paksa hasil jualan ku, padahal tidak kenal" balas anak itu dengan ekspreksi kesal. 

"Kalo boleh aku bertanya, biasanya pendapatan sehari berapa?"pertanyaan tidak sopan seketika terlontar terucapkan. "Kalo lagi rame, mungkin 20 ribuan kak, kalo sepi ya begitu hehee..." canggung. "Kasian sekali..., yaudah aku beli satu yaa" entah mengapa anak itu tiba - tiba menundukkan kepala seperti merenungkan seuatu hal, "maaf kak, maaf sekali, aku tidak ingin dikasihani, aku jualan kak" dengan senyum simpul penuh makna mengucapka perkataan yang seketika menusuk dan membuat perasaan tidak enak mengelilingi pikiran ku. 

Suasana memburuk, sejuk yang tercipta seketika hilang dan di gantikan oleh rasa cemas merasa bersalah. Pergi, hanya kata itu yang ada di pikiranku, tanpa banyak bicara aku pergi dan tak lupa mengucapka maaf sebelum meinggalkannya. Buruk, rasa penasaran yang berakhir menyakiti perasaan orang lain, di jalan pulang aku hanya terdiam melamun mengoreksi ucapan yang sudah terlontarkan tadi, rasa bersalah terus mengikutiku sampai aku tiba di gerbang depan rumahku. 

Setiap orang berusaha, setiap orang juga merasa. Pekerja sepele yang sering kita temui juga berusaha dan merasa, menghargai menjadi hal yang utama, senantiasa menjaga perkataan serta perbuatan, demi mengurangi pribadi yang disakiti. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun