Mohon tunggu...
Al Fatah Gibran Wibowo
Al Fatah Gibran Wibowo Mohon Tunggu... Penjahit - penyuka, penikmat seni

Mahasiswa Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Komoditas Beras di Indonesia

28 April 2021   09:15 Diperbarui: 28 April 2021   11:02 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

                Beras merupakan salah satu makanan pokok sebagian besar penduduk di dunia, terutama di Indonesia. Sebanding dengan bertumbuhnya penduduk, kebutuhan akan konsumsi makanan pokok berupa beras juga meningkat setiap tahunnya. Total produksi padi di Indonesia pada 2020 sekitar 54,65 juta ton GKG, dimana produksi padi tersebut naik sebanyak 45,17 juta ton atau 0,08 persen dibandingkan tahun 2018 sebesar 54,6 juta ton GKG. Sedangkan beras untuk konsumsi pangan penduduk pada 2020 mencapai angka sebesar 31,33 juta ton, dimana mengalami kenaikan sebanyak 21,46 ribu ton atau 0,07 persen dibanding 2019 sebesar 31,31 juta ton (BPS, 2021). Komposisi tersebut menunjukkan bahwa beras yang diperdagangkan di pasar dunia masih tipis.

              Sistem pemasaran pangan yang terjadi saat ini mengalami pergeseran sejalan dengan keadaan perekonomian yang semakin berkembang. Kondisi tersebut juga mencerminkan adanya suatu perubahan yang perlu direspon dengan penyesuaian peran pemerintah secara terus-menerus dalam rangka menjamin tetap terciptanya pasar pangan efisien. Ada berbagai pilihan yang dikaitkan dengan peran pemerintah dalam sistem pemasaran dengan konsekuensi atas pilihan yang diambil, untuk mengantisipasi dan menyesuaikan dengan kondisi yang semakin berubah (Mardiyanto dkk, 2005).

             Keunggulan daya saing padi Indonesia dapat ditempuh dalam beberapa hal yang terbatas, termasuk dengan mempertahankan swasembada beras dengan cara penggenjotan produktivitas, pencetakan sawah-sawah baru, serta mencegah konversi lahan sawah subur. Dalam tujuan emergensi dan stabilisasi harga, Indonesia terus mendorong peningkatan produksi beras dalam negeri dan mengelola stok beras nasional. Peningkatan produksi beras tersebut sangat penting dalam menghindari tingginya risiko ketidakstabilan harga dan supply beras dari pasar dunia, selain hal tersebut juga berkaitan erat dengan usaha mengentasi kemiskinan dan membangun pedesaan (Azahari dan Hadiutomo, 2013).

             Dirjen Tanaman Pangan, Suwandi (CNN, 2021 Mar 2), menyebutkan beberapa penyebab penurunan luas panen adalah faktor pemicu seperti alih fungsi lahan dan perubahan preferensi komoditas. Suwandi juga mengatakan bahwa di tahun 2021 ada berbagai terobosan dalam rangka peningkatan produktivitas dan untuk memajukan pertanian melalui penerapan teknologi benih, alsintan, dan manajemen korporasi. Beberapa program telah dijalankan seperti korporasi petani, perluasan areal tanam baru, kostraling, serta food estate.

             Terkait kebijakan impor, dalam Tempo (2021 Mar 31), Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah tidak akan melakukan impor beras setidaknya hingga Juni 2021. Hal tersebut selain didasari dengan fakta meningkatnya angka produksi, juga prediksi BPS dimana pada periode Januari-April 2021 angka produksi padi Indonesia diperkirakan mencapai 14,54 juta ton (BPS, 2021), dimana akan berpotensi membuat surplus 4,8 juta ton beras sehingga harga gabah dan beras di pasaran akan turun (Surya, 2011). Data BPS juga menunjukkan bahwa produksi beras nasional dapat memenuhi kebutuhan sekitar 29 juta ton per tahun, bahkan stok beras Perum Bulog per 14 Maret 2021 masih cukup banyak mencapai 883.585 ton (Surya, 2021).

               Melalui CNN (2021 Mar 29), Kementan menyebutkan terdapat potensi ekspor beras pada produksi beras dalam negeri yang sedang dalam masa panen raya. Data kementan menunjukkan angka sebesar 2.100 dalam ekspor beras pada 2017 ke lima negara tujuan, yaitu Belanda, AS, Malaysia, Belgia, dan Bangladesh. Pada tahun 2019 ekspor beras Indonesia hanya mencapai 1.400 ton ke 14 negara, termasuk Jepang, Vietnam, dan Cina. Angka ekspor terus menurun, dimana sebesar 341,1 ton pada 2019 dan sebesar 230,2 ton sebanyak 341,1 ton. Hal ini cukup menjelaskan lemahnya keunggulan kompetitif pada komoditas beras Indonesia. Selain karena angka ekspor yang terus menurun, posisi beras Indonesia juga lemah dilihat dari tingginya angka impor setidaknya pada tahun 2020, dimana secara kumulatif sepanjang tahun 2020 angka impor beras Indonesia mencapai 356.286 ton.

               Berbagai permasalahan yang rumit pada komoditas beras di Indonesia ini menyebabkan terkendalanya perkembangan agribisnis padi di Indonesia. Kendala tersebut bisa datang dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah, Swasta, maupun petani itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut meliputi minimnya anggaran sektor pertanian, terpusatnya pembangunan berbagai sektor di pulau jawa, alih fungsi lahan pertanian, serta meningkatnya pertumbuhan penduduk. Pada faktanya, anggaran sektor pertanian terus menurun tiap tahunnya, dimana pada 2015 sebesar Rp32,72 triliun, 2016 sebesar Rp 27,72 triliun, 2017 sebesar Rp24,23 triliyun, 2018 sebesar Rp23,90 triliun, 2019 sebesar 21,71 triliyun, dan pada akhirnya pada 2020 sebesar Rp 21,05 triliun (Kementan, 2021).

                Sentralisasi lahan pertanian terjadi di pulau Jawa. Sehingga dengan pusat pembangunan yang ada di pulau jawa, alih fungsi lahan pertanian meningkat. Terlebih, peningkatan pertumbuhan penduduk juga mendorong peningkatan jumlah pemukiman yang ada di pulau jawa. Akibat dari alih fungsi lahan pertanian yang cukup besar ini akan menekan produksi padi atau setidaknya menekan laju pertumbuhan produksi padi, sehingga konversi lahan ini harus diminimalisir dalam rangka menyukseskan ketahanan pangan nasional (Sunanto, 2013)

                Melalui pengadaan beras dengan HPP (Harga Pembelian Pemerintah), Pemerintah (Kementerian Perdagangan) bersama dengan Bulog terus memantau pengadaan cadangan beras pemerintah pada kaitannya dengan kebijakan pro-produsen. Persentase impor beras yang besar di satu sisi akan menguntungkan konsumen dengan harga yang relatif terjangkau. Namun, di sisi lain hal tersebut dapat menurunkan harga produsen. Hal itulah yang menjadi dasar penetapan kebijakan oleh Kementerian Perdagangan tadi dalam mengakomodir kebutuhan produsen dan konsumen. Selain kebijakan pro-produsen, Kementerian Perdagangan juga memiliki kebijakan pro-konsumen sehingga harga referensi yang memungkinkan produsen menjual dengan harga yang layak sehingga tidak membebani konsumen, seperti pada komoditas cabe, bawang, dan daging sapi (Farid dkk, 2014).

               Kebijakan harga produsen yang diterapkan pada beras sudah mendukung peningkatan produksi dan pendapatan petani. Angka HPP Gabah Kering Panen, Kering Giling, dan Beras sepanjang tahun 2004-2013 masing-masing naik sebesar 11,71%; 10,68%; dan 9,29%; sedangkan produktivitas padi sebesar 1,5% per tahun sepanjang periode tersebut (Farid dkk, 2014). Kebijakan pemerintah dalam bentuk Instruksi Presiden bertujuan untuk meningkatkan produksi beras nasional, salah satunya dengan melindungi harga di tingkat produsen melalui HPP tersebut. Kebijakan harga yang ada perlu mengacu pada perlindungan kepentingan produsen dan juga konsumen. Komoditas yang memiliki kontribusi terhadap keberlangsungan bisnis petani tersebut dapat menggunakan kebijakan harga produsen untuk menjamin kepastian harga di tingkat produsen (Farid dkk, 2014).

Sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun