Mohon tunggu...
Gia Safitri
Gia Safitri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Seorang siswi SMA yang gemar merangkai kata. Pemimpi yang handal, serta pemalas sejati. Banyak hal yang ingin dicapai, tetapi enggan memulai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cermin: Mimpi

1 Oktober 2022   18:03 Diperbarui: 1 Oktober 2022   18:05 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mimpi itu tanpa batas dan sekat. Seperti imajinasi yang terbang bebas di angkasa

Mimpi? Satu kata yang membuatku berkelana ke dalam masa kecilku yang penuh dengan mimpi. Bagiku, mimpi itu layaknya samudra, luas dan tidak berujung.

Aku mempunyai banyak mimpi yang setiap saat selalu berubah-ubah. Mimpi yang sangat ingin kugapai, tetapi, setelahnya hanya menjadi angan tanpa tindakan. Karena dulu, yang kutahu hanya bermimpi tanpa tahu kesulitan untuk meraihya.

Teringat, saat aku berusia lima tahun, aku bermimpi menjadi seorang pramugari hanya karena melihat ada pesawat yang terbang di langit. Kupikir itu mudah, sebab aku tidak tahu apa-apa perihal kejamnya dunia.

Kupikir hanya dengan menjadi pramugari, aku bisa menaiki pesawat dan terbang bebas di langit. Bisa berkeliling dunia menggunakan pesawat dengan bebas tanpa adanya halangan apa pun. Bisa melihat keindahan bumi pertiwi dari atas sana, yang tidak kuketahui seberapa jauh jarak antara tingginya pesawat dan tanah ini.

Namun, kenyataan bahwa semua hanya ada dalam pikiranku membuatku hanya bisa diam dan berharap; kelak saat Aku dewasa, aku dapat meraihnya. Kadang, aku pun merengek meminta pada ibu untuk mewujudkan mimpi itu. Ah ..., Aku terlalu menyusahkan ibuku itu.

Sampai-sampai, Ibu rela membujuk Ayah untuk mengangkatku agar seolah-olah aku sedang terbang bebas, seperti keinginanku.

Teringat pula, ketika aku baru menduduki bangku sekolah dasar. Seorang guru bertanya, yang entah siapa Aku tidak ingat namanya.

"Apa mimpimu?"

Ketika itu, Aku menjawab, Aku ingin menjadi seorang guru seperti beliau. Pikiranku kala itu terlalu polos, tidak tahu betapa beratnya mengemban tugas sebagai seorang guru.

Kukira, menjadi guru itu enak. Dapat memberi tugas seenaknya, bisa memarahi muridnya ketika mendapati mereka nakal, bisa mengisi nilai rapot dan menentukan seorang murid dapat naik kelas atau tidak.

Begitu mudah aku bermimpi ketika kecil dulu. Akan tetapi, ketika aku beranjak dewasa mimpi-mimpi itu hilang seketika. Aku sudah tidak bisa bermimpi karena memang sudah tidak semudah itu. Ada asa yang harus digenggam, ada harapan yang mesti diwujudkan. 

Pada kenyataannya semua hanya menjadi mimpi yang hidup dalam imajinasi, yang bahkan saat ini menolak untuk kuraih. Mimpi-mimpi itulah yang menjatuhkanku ke dalam jurang kegagalan.

Andai saja aku bisa kembali ke masa kecil dulu, tidak akan pernah aku bermimpi. Mimpi itu menyesakkan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun