Mohon tunggu...
Gian Fitria Anggraini
Gian Fitria Anggraini Mohon Tunggu... lainnya -

A daughter, wife, and sister that want to give the best for others happiness :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Media Social and Me..

9 Agustus 2012   03:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:03 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13444850481323932120

Lebih dari  satu milyar populasi dunia, mengkases internet  setiap harinya, dan lebih dari 800 juta orang yang  berkomunikasi lewat media sosial di seluruh kawasan Asia,  saya dan anda adalah salah satunya. Pertama kali mengenal Facebook pada tahun 2005,  sebelumnya "Friendster" lah yang menjadi tempat ke  "narsisan" dan ke "eksisan" saya di dunia maya. Menulis  status, blog, --kesemuanya hampir 'curhatan" hati yang  galau--seolah-olah menjadi sarapan pagi, siang, sore,  malam, bahkan dini hari. Saya menjadi terobsesi oleh  "media sosial", it becomes my second best friends. Obsesi  ini lama-lama berdampak buruk, saat saya merasa marah, kesal or need help because what I am feelings, dan kemudian saya lontarkan dalam sebuah status, yang tentunya hanya sebuah status yang statik, kaku, satu arah, dan yang paling parah,  tanpa sadar orang lain ternyata sedang menilai dan men-judge saya. Lingkungan dan masyarakat kita sudah semakin maju dan juga cerdas, mereka sudah bisa menilai, bahkan luar biasa menurut saya, melebihi psikolog atau psikiater saat menilai orang dari status-status yang terlontar ke permukaan oleh sang empunya. Tanpa sadar mereka melupakan kehadiran "sang persepsi", yang pastinya berbeda bagi setiap orang, budaya, lingkungan, dan kondisi, sehingga akan menghasilkan "pemahaman" yang berbeda pula terhadap sebuah status. Dan saya sebagai pengguna aktif media sosial, seperti Facebook, Twitter dan juga blog, merasa harus belajar banyak tentang etika moral saat menulis. Bukan hanya sekedar menuliskan informasi atau sumber yang jelas dan tidak mengandung unsur SARA, namun juga efek psikologis dan sosial yang akan "muncul" dari sebuah tulisan, komentar atau sharing status. Satu tahun yang lalu, saya tanpa sengaja pernah menulis di wall Facebook, yang intinya hanya untuk mengemukakan pendapat sekaligus "mencubit" diri sendiri, bahwa betapa pentingnya "menikmati hidup" baik itu bersama dengan orang tercinta, sahabat, saudara ataupun orang tua. Saat itu, adalah tahun terberat yang harus saya lalui, setelah satu tahun lulus menjadi sarjana, belum ada satu pun pekerjaan yang dapat saya "raih", padahal sudah dari sabang sampai merauke saya jelajahi untuk ikut berbagai tes, baik itu CPNS atau BUMN. Namun, Tuhan memilihkan jalan lain bagi saya, dan saya katakan Alhamdulillah, terima kasih Tuhan :). Saat dunia "gelap" itulah, sosok media sosial menjadi "best friend" bagi saya, saya ungkapkan segala macam rasa di sana. Tanpa saya sadari, ada seseorang yang membaca tulisan saya dan entah mengapa, ia merasa bahwa tulisan tentang "menikmati hidup" itu adalah untuk menyindirnya. Dan apa yang terjadi setelahnya, it's too complicated, that I can't tell in here. Saya juga pernah berkontemplasi dengan beberapa dosen saya di Facebook, semuanya saya katakan, it's my fault, karena pertama bahasa yang saya gunakan "kurang tepat" dan saya tidak membubuhkan sumber yang jelas tentang informasi tersebut. So, I am also learned from that. Saya belajar, bahwa saat kita berada di lingkungan intelektual, maka berbicaralah dengan tata bahasa kaum intelek, meskipun itu hanya sharing status "galau" di media sosial.  (Galau dan science apakah berkorelasi..?, nampaknya bisa saja, hehehe) A "wide awake"....Sebuah paradigma dalam diri muncul, ketika saya membaca sebuah buku, well, buku itu bukan buku motivasi dari penulis ternama, dan juga bukan buku populer para kaum intelek, tapi satu kalimat dalam buku tersebut cukup memunculkan satu framework yang berbeda dalam kepala saya. Akhir-akhir ini saya sedang 'concern" tentang bagaimana memanage masalah keuangan rumah tangga terutama bagi pasangan "new-wed" seperti saya. Hartamu Hartaku, Hartaku Punya  Siapa?, itu judul bukunya, karangan Miyo Ariefiansyah, Kumpulan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN).  Di sana tertulis, bahwa salah satu kewajiban Isteri dalam hal menjaga harta suami adalah tidak sombong terhadap pemberian suami. Ilustrasi yang diberikan adalah ketika seorang Ibu sedang mengobrol dengan ibu lainnya, seperti ini: x: "Eh, Bu Mirna baru beli mobil baru, ya, bu?" y: "Ya, gitu deh, Bu. Maklum, suami saya baru diangkat jadi direktur. Alhamdulillah". or x: "Jeng, nggak beli BB?" Y: "Nggak, ah, Jeng". x: "Wah...gimana, sih! Kalau suami saya, sih, langsung beliin saya BB begitu ada seri terbaru". Pertama kali membaca ilustrasi ini, saya tertawa terpengkal-pengkal, maksudnya, sering sekali saya temukan hal ini di lingkungan terdekat saya, di keluarga, teman, ataupun sekedar status di FB. Namun, rupanya hal ini sudah menjadi biasa dan menjadi terabaikan, bahkan kita menganggapnya sebagai hal yang "wajar", benarkah?. Di buku itu dijelaskan, bahwa seorang istri tidak baik terlalu membangga-banggakan harta pemberian suaminya, mengapa, karena bukan saja termasuk riya, namun hal itu juga bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Yup, kecemburuan sosial, bagaimana jika kita berada di posisi orang-orang yang kita ceritakan tentang nasib baik kita, keberuntungan, kelebihan,  harta kekayaan yang kita miliki, sejuta prestasi, dan lain sebagainya, bagaimana kira-kira perasaan mereka? Memang, tak selamanya apa yang kita ekspresikan dalam bentuk sharing pengalaman tentang keberuntungan atau prestasi, adalah bentuk sombong atau riya yang muncul dalam diri, dan masalah riya atau bukan itu adalah antara dia dan Tuhannya. Namun, sebagai mahluk sosial, kita juga sebaiknya melihat di kondisi sosial seperti apa  kita pantas "berbicara". Tak dapat dipungkiri, kecemburuan sosial yang muncul dari status-status, tulisan, atau mungkin blog, terutama jika tulisan tersebut hadir dari seseorang yang kita kenal dekat, dapat menimbulkan perasaan tidak enak, tidak nyaman, dan yang paling parah, adalah perasaan cemburu, iri, dan sebagainya. Seperti misalnya, menunjukkan kendaraan mewah kita pada sahabat yang baru saja kehilangan mobilnya, how do you think their feelings? Hal ini pernah saya rasakan, dulu ketika masa-masa "pahit" menyandang status "jobless", saya selalu bertukar pikiran, pengalaman dan pendapat dengan salah satu sepupu saya, kebetulan dewi fortunate menghampirinya, sedangkan saya belum. Ia menceritakan segala keberhasilannya dan keberuntungannya dalam pekerjaan, otomatis, bikin saya mupeng toh, ahaha. Namun, apa yang saya tangkap bukan dorongan motivasi, hanya pengungkapan saja seperti ilustrasi yang saya tulis di atas. Rasanya berbeda ketika kita mendengar seseorang sedang berbicara tentang sejuta prestasinya saja, dengan seseorang yang men-share pengalamannya, namun ia juga memberikan semangat dan motivasi pada kita untuk bisa melakukan hal yang sama. Partikel-partikel positif pun akan langsung muncul dalam jiwa  dan mengaktifkan nadir kehidupan yang lebih baik, semua itu, hanya karena satu kata, kamu pun bisa!! Tulisan status di FB, lahir dari sebuah pemikiran, bisa pemikiran yang serius, atau hanya "iseng". Sayangnya kita tak bisa "membaca" apakah pemikiran tersebut muncul dari pikiran yanag serius, kacau, atau hanya iseng. Kalau hanya sekedar iseng, dan mungkin orang tersebut hanya sedang ingin bercanda gurau dengan dirinya, maka akan sangat disayangkan, jika kita membaca "dirinya" terlalu jauh dan bahkan tidak sesuai dengan dirinya yang sesungguhnya. Berbeda jika kita membaca suatu artikel, jurnal atau penelitian, maka hasil tulisannya pasti berdasarkan pemikiran yang serius dan fakta yang akurat. Novel, cerpen, itu adalah hasil imajinasi seseorang berdasarkan apa yang pernah ia alami atau rasakan, jika ada kesamaan cerita, mungkin sang penulis tidak bermaksud menyindir, ia hanya mengungkapkan pesan dan kesan yang ia tangkap terhadap sesuatu. So, intinya adalah, tak apa-apa jika kita ingin menjadikan media sosial sebagai "our best friend", tapi kita tak selamanya bisa menggantungkan diri padanya. Jangan jadikan media sosial hanya sebagai ajang "narsis" atau "menyindir" atau sengaja menunjukkan kelebihan diri untuk membuat "down" seseorang, lihat efek sosialnya. Baiknya kita melihat, di lingkungan mana kita bicara. Sebisa mungkin, hindari kata-kata yang dapat melukai, atau membuat orang lain cemburu pada kita dan jangan berharap apapun dari media sosial. If we angry, or jealous to someone, don't do it at social media, berharaplah pada Tuhan, jadikan Tuhan sebagai media sosial bagi kita untuk mencurahkan segala macam perasaan dan harapan. Tuhan-lah tempat kita bergantung, karna hanya Tuhan yang bisa membolak-balikkan hati seseorang, bukan media sosial. Dan yang lebih baik lagi, daripada jengkel di FB atau Twitter, bicaralah langsung pada orangnya, dengan tulus tentunya. Dari semua pembelajaran ini, come to me, my new paradigm, lebih baik menuliskan sesuatu yang bisa membangkitkan semangat, motivasi, dan perasaan bahwa semuanya pasti bisa berhasil, bahwa semuanya adalah special, ketimbang, saya harus menulis status tentang "diri saya sendiri". Meskipun, saya akui, terkadang terpeleset ke jurang yang sama, karena lupa, atau mungkin karena sudah saking terbiasanya melakukan hal itu :p. Tapi, Tuhan Maha Adil, saya yakin, hanya Tuhan lah yang tahu memposisikan hamba-hambaNya di tempat terbaik yang sudah dipilihNya. So, right know, saya berusaha untuk  meminimalisir, supaya orang lain tak cemburu pada saya dengan tulisan-tulisan yang dapat berdampak tidak baik bagi kondisi  psikologis dan sosial orang lain. I know it's hard, apalagi kalau sudah sering "terpeleset", lama-lama menjadi biasa, setelah biasa, umumnya diri kita akan "abai", setelah mengabaikan, maka kita tidak akan lagi bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, nauzdubillah himindzalik...Ya Allah semoga kami semua terhindar dari ilmu yang sia-sia, dari hati yang tidak khusyu, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak terkabul, Aamiin Ya Rabbal Alamiin.. Jika Negara lain bisa menjadikan media social sebagai "pendorong" masyarakatnya ke arah yang lebih positif, maka bagaimana dengan diri kita sendiri, sudahkah kita menjadi "pemicu" positif bagi diri melalui media sosial?. Mudah-mudahhan dengan adanya berbagai fasilitas seperti kompasiana, blogspot, komunitas blogger, twitter dan lain sebagainya, menjadi tempat "latihan" serta "evaluasi" bagi diri dan masyarakat kita untuk benar-benar menjadi suatu bangsa yang besar dengan banyak menulis dan membaca, Insya Allah.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun