Mohon tunggu...
Arie
Arie Mohon Tunggu... -

Aku Akan Pergi Bukannya aku takut tak dapat melihatmu… Bukannya aku takut tak dapat menyentuhmu…. Karna ku tau di setiap nafas yang ku hembuskan hanya untuk melihatmu… Karna ku tau di setiap denyut nadi ku hanya untuk menyentuhmu…. Ku tak dapat lari… Ku tak dapat pergi… Ini hidup ku… Ini milikku… Ku merasa lelah… Seolah-olah bersembunyi di dalam gelap dunia… Ku merasa sedih… Di saat kau datang dengan sejuta cinta, aku semakin lemah…. Aku lemah karma semuanya…. Apa yang ada dalamku…. Apa yang ku derita… Apa yang ku alami… Semua terasa melelahkan…. Semua terasa sangat berat… Aku tau kau dapat menguatkanku… Aku tau kau dapat memampukanku… Tapi aku tak sekuat itu…. Tapi aku tak semampu itu… Waktu ku hanya sebentar… Waktu ku tak lama lagi… Ku tau aku akan pergi… Ku tau aku akan meninggalkanmu… Ku tau berat mengawali sesuatu yang tak dapat ku akhiri… Ku tau salah karna ku tak dapat mengakhirinya se indah yang ku awali… Maafkan aku… Maafkan semua kesalahanku… Aku membawa kau ke dalam dunia ku… Dunia yang kelam dan gelap.. Ketika ku pergi…. Rasa ini akan abadi… Ketika ku pergi… Rasa ini hanya milikmu… Simpan semua cinta ku… Simpan semua sayang ku… Simpan semua rasa ku… Simpan semua kenangan ku… Tapi….. Ku tak akan memaksakan kau untuk tetap mencintaiku…. Tapi…. Ku tak memaksa kau untuk tetap menyayangiku… Karna ku tau…. Ketika aku pergi….. Aku hanya menyisakan luka…. Aku hanya menyisakan sakit…. Kau akan mendapatkan yang terbaik…. Karna kau yang terbaik…. Kau akan mendapatkan yang terindah…. Karna kau yang terindah… Kau takkan terluka…. Karna kau tak pernah membuatku terluka selama aku ada…. Kau takkan tersakiti… Karna kau tak pernah membuatku tersakiti selama aku ada…. Aku mencintaimu…. Karna arti cinta sejati hanya ada ketika kau hadir dalam sisa hidupku….

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Untuk Yang Tersakiti

25 Februari 2012   12:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:28 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Teruntuk seseorang yang pernah ku sakiti.

Teruntuk seseorang yang kecewa dengan tingkahku selama ini, untuk dia yang terus berdiam diri, untuk seseorang yang pernah mengisi namanya dihatiku ini.

Assalamu’alaikum wahai engkau yang pernah tersakiti,

Lama kita tidak saling mengirim kabar, teramat lama juga kita membangun luka antara sesama kita. Maafkanlah aku yang terus kecewa, maafkan aku yang begitu posesif ingin melindungimu namun aku tak pernah mengerti cara yang dewasa yang kau anggap baik untuk melindungimu. Maafkanlah aku yang tak pernah dewasa dalam mengambil sikap.

Teramat lama aku ingin segera mengakhiri perang dingin ini. Teramat lama aku ingin kita kembali berteman seperti dulu lagi, tanpa harus ada makian antara aku dan kamu. Teramat lama dan telah teramat sesak aku menunggu waktu yang tepat untuk mengucapkan kata maaf ini. Maka maafkanlah aku.

Apakah engkau harus terus memegang kata: tidaklah mudah untuk memaafkan

.

Bukankah Tuhan saja Maha Pemaaf, namun mengapa aku atau engkau tidak mampu memaafkan? Sudah menjadi tuhan-tuhan kecilkah kita?

Atau memang engkau telah memaafkan segala kesalahanku? Namun mengapa telah terputus tali silaturahmi diantara kita?

Jangan seperti itu. Sungguh jangan seperti itu. Janganlah begitu mudah memutuskan sesuatu yang berat, janganlah begitu mudah membenci sesuatu. Hal yang engkau anggap ringan itu sebenarnya adalah sesuatu yang berat di mata Allah. “Dan janganlah kebencianmu pada suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil.

Masih ingatkah engkau suatu kisah, dimana engkau bercerita: “Aku pernah memiliki seekor domba, dulu domba itu begitu kusayang. Kemana aku pergi domba itu mengikutiku, dan kemana domba itu beranjak akupun mengikutinya. Namun suatu hari aku amat begitu buruk dan membencinya, domba itu mulai sering mengomel. Dia mengoceh betapa aku harus lebih sering mandi, dia terus berkelakar bahwa tidak baik jika aku tidak mandi. Dia mulai sering mengkritikku. Aku marah. Aku ku tinggalkan domba itu sendiri. Tidak peduli dia mau mati atau terisak nangis sendiri. Bahkan domba itu mulai membentak bahwa selama ini aku tidak ikhlas menemaninya, padahal aku ikhlas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun