Nama : Ghina Hana Imtinan
Nim : 2019041032
Dosen : Dr. Geofakta Razali, M. I. Kom
Mata Kuliah dan Kampus : Manajemen Krisis UPJ
Â
Pada awal September tahun 2022, masyarakat Republik Indonesia (RI) dibuat gempar dengan kehadiran seorang yang banyak disebut sebagai peretas atau (hacker) Bjorka. Namun, sebenarnya jika dikaji lebih dalam berdasarkan jenis aktivitasnya kejahatan Bjorka ini termasuk pada cybercrime bernama cracking. Dilansir dari (Diskominfo, 2018), hacker dan cracker sebenarnya memiliki kesamaan, yakni seseorang yang berupaya untuk memaksa masuk atau melakukan pembobolan terhadap sistem keamanan jaringan komputer dan memiliki akses terhadap data-data yang tidak terdapat perizinan untuk diakses, bahkan terkait data-data privasi. Hal yang menjadi pembeda, yaitu seorang hacker tidak selalu negatif, mereka memiliki kemampuan untuk menguji keamanan dan kelemahan suatu situs jaringan, lalu  memberikan saran positif untuk meningkatkan keamanan dan kelemahan tersebut. Berbeda dengan cracker yang merupakan aktivitas pembobolan sistem jaringan untuk kepentingan dirinya sendiri, bersifat merusak, dan memanfaatkan kemampuannya ini untuk keuntungan pribadi yang melanggar hak privasi orang lain. Melihat beberapa aksi cybercrime Bjorka, maka lebih tepat jika ia bukan hanya disebut sebagai hacker melainkan seorang cracker. Beberapa aksi cybercrime yang dilakukan Bjorka, yakni mulai dari kebocoran data pelanggan IndiHome Indonesia, data registrasi SIM Card milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI, doxing data pejabat publik RI, peretasan dokumen rahasia untuk Presiden Jokowi, hingga membocorkan data masyarakat Indonesia terkait pemilihan umum yang berasal dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Diketahui Bjorka telah menjual 105 juta data yang diduga milik warga negara Indonesia (WNI) yang berasal dari KPU dalam situs beranam Breached.to dan dijual dengan harga sebesar US$ 5.000 (Dewi, 2022). Aksi kejahatan Bjorka ini termasuk kedalam pencurian data privasi untuk keuntungan pribadinya sendiri sehingga lebih tepat jika ia disebut sebagai cracker.
Â
Ancaman Krisis Kepercayaan Publik Terhadap Kompetensi Pemerintah Terkait Kemanan Siber NegaraÂ
 Tentu publik telah mengetahui bahwa bukan hanya data pribadi milik WNI saja yang telah diretas dan diperdagangkan oleh Bjorka. Tetapi data privasi para pejabat tinggi pemerintah dan bahkan dokumen rahasia Presiden Jokowi, dimana salah satunya dari Badan Intelijen Negara (BIN) juga telah diretas dan disebarluaskan. Hal ini akan menjadi pertanyaan besar oleh publik karena bagaimana bisa pemerintah melindungi privasi data masyarkatnya jika data-data pribadi pejabat yang memiliki otoriter dan dokumen rahasia milik negara tidak bisa dijaga dengan baik. Akibat dari aksi cybercrime dari Bjorka, publik juga menjadi lebih kritis dalam menyuarakan untuk meningkatkan anggaran keamanan siber untuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Bahkan, dampaknya akan semakin banyak muncul opini liar dari masyarkat dalam menanggapi fenomena aksi cybercrime dari Bjorka ini, salah satunya adalah terdapat beberapa publik yang berpandangan bahwa aksi ini hanya bentuk pengalihan isu untuk kasus Ferdy Sambo dari instansi Polri. Setiap gerak-gerik, tindakan, dan keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah dalam menanggapi aksi cybercrime Bjorka selalu akan diamati oleh Publik, sehingga sangat penting peran manajemen krisis dari bagian Humas pemerintah untuk mendapatkan rasa trust kembali dari publik dan memberikan klarifikasi atau penjabaran terkait tindakan ideal dan upaya apa saja yang pemerintah lakukan untuk menghadapi krisis kemanan siber ini.
Tindakan Krisis Manajemen yang Seharusya DilakukanÂ
Â