Mohon tunggu...
Masrur Ghani
Masrur Ghani Mohon Tunggu... -

Civil Engineer\r\n\r\nBandung - Tokyo - Singapore - Ho Chi Minh City\r\n\r\nCatatan perjalanan saya:\r\nhttp://semangatyanghidup.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sudah Berapa Lama Anda Belajar Bahasa Indonesia?

24 September 2012   22:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:47 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13485440021247142595

[caption id="attachment_214430" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Tokyo, penghujung musim panas 2012... “Anda temannya Asep-san?”, teguran tersebut mengagetkan saya. Malam itu, pertengahan September, saya sedang memasuki gedung asrama tempat teman saya tinggal. Dia dan keluarganya akan meninggalkan Jepang dan pulang ke Indonesia karena masa studinya yang telah selesai. Saya berencana untuk membantu membereskan ruangan kamarnya, namun ternyata teman saya itu belum pulang. Alih-alih bertemu dengannya, saya bertemu dua wanita Jepang yang menegur saya tadi. Kata-kata teguran di atas bukan terjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Itu adalah murni teguran dalam bahasa Indonesia yang diucapkan orang Jepang, itulah sebabnya saya kaget. “Wah, Anda bisa berbahasa Indonesia?” balas saya. Mereka hanya tersipu malu. “Iya, saya temannya Asep-san, kami sudah berjanji untuk bertemu malam ini. Namun tampaknya Asep-san dan istrinya belum tiba”, lanjut saya. Salah satu dari kedua wanita tersebut balas menyahut,”Ya, sejak tadi kami hubungi lewat Facebook, tapi tidak ada balasan. Kalau lewat telepon sudah tidak bisa, karena Asep-san bilang layanan teleponnya sudah diputus hari ini. Kami ke sini mau mengucapkan selamat tinggal.” “Wah, lancar sekali bahasa Indonesianya,” pikir saya dalam hati. Karena teman saya belum kunjung tiba, kami memutuskan untuk menunggunya di selasar depan kamarnya di lantai tiga. Kami pun melanjutkan obrolan. “Perkenalkan saya Ghani, nama Anda siapa?” ucap saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. “Nama saya Rumi dan ini Ai,” ujar salah satu wanita tersebut. “Ooh, Rumi dan Ai lancar sekali ya berbahasa Indonesianya,” puji saya. “Kalau Ghani-san, bisa berbahasa Jepang?”, tanya Rumi. “Eeeto, sukoshi wakarimasu (mmm, mengerti sedikit). Saya baru datang enam bulan yang lalu,” jawab saya dalam bahasa Jepang yang disambung dengan bahasa Indonesia. “Wah, hebat, hebat, pintar,” ujar mereka antusias. Pujian seperti itu sudah biasa saya terima dari orang Jepang. Mereka sangat senang ada orang asing yang bisa menguasai bahasa nasional mereka. Padahal kosakata yang saya kuasai saat itu paling-paling hanya ucapan selamat pagi, siang, dan malam, serta perkenalan dalam bahasa Jepang yang memang mudah untuk dihapal. Namun antusiasme mereka seolah tidak memedulikan hal itu. Penasaran dengan kemampuan berbahasa Indonesia mereka, saya pun melanjutkan perbincangan, “Sudah berapa lama Anda belajar Bahasa Indonesia?” Menanggapi pertanyaan saya tersebut, Ai menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak mau kasih tahu, malu.” Pentingnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar Sebetulnya setelah itu kami masih terus melanjutkan percakapan hingga teman saya dan keluarganya datang. Bila diperhatikan, semua kalimat bahasa Indonesia yang saya ucapkan adalah kalimat dalam bentuk baku. Saya rasa itulah bentuk Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu, apa yang saya rasakan saat mengucapkannya? Aneh. Saya merasa ganjil menggunakannya. Bagi saya, selain dalam hal tulis-menulis, menggunakan bahasa Indonesia yang baku bukanlah kebiasaan sehari-hari. Jika berkomunikasi dengan teman dan keluarga, saya menggunakan bahasa yang tidak baku. Mungkin jika Rumi dan Ai tadi adalah teman Indonesia saya, salah satu ekspresi saya dalam percakapan tersebut akan seperti ini: “Iya, saya temennya Asep-san, kami udah janjian buat ketemuan malem ini. Tapi kayanya Asep-san sama keluarganya belum dateng.” Kalimat terakhir itu hanyalah salah satu contoh penggunaan bahasa Indonesia yang telah terdistorsi kebakuannya. Belum lagi jika bahasa Indonesia dicampur dengan kata-kata serapan non formal atau ilegal (yang belum disepakati bersama) dari bahasa daerah atau bahkan terpengaruh dari guyonan-guyonan yang dipopulerkan oleh artis-artis parodi dan sinetron di televisi, sudah tentu bentuknya menjadi bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar. Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan menimbulkan efek negatif. Contohnya, jika seseorang sudah terbiasa menggunakan ekspresi, kosakata, dan ungkapan-ungkapan yang tidak formal dalam berbahasa Indonesia, ada kemungkinan sampai suatu ketika, secara tidak sadar, ia akan berkomunikasi dengan seseorang yang berbeda latar belakang dengan menggunakan bahasa sehari-harinya itu. Bahayanya adalah apabila terjadi kesalahpahaman dari komunikasi tersebut, maka kedua pihak akan rugi. Rugi waktu, rugi tenaga, bahkan jika itu komunikasi bisnis, keduanya dapat mengalami kerugian finansial. Hal tersebut masih rentan terjadi pada orang dewasa yang sudah berpendidikan. Bayangkan apa yang terjadi jika anak-anak usia sekolah sudah tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik? Oleh karena itu penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sangatlah penting. Karena bagi rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, Bahasa Indonesia ini benar-benar menjadi alat komunikasi untuk mempersatukan masyarakat dalam berbagai aktivitas seperti perdagangan, pendidikan, dan pemerintahan. Saya mengerti tentang itu. Namun jika kita bertanya, “Bagaimanakah Bahasa Indonesia yang baik dan benar itu?” Dapatkah Anda menjawabnya? Bahasa Indonesia: Ilmu tidak pasti? Sejauh pengalaman saya belajar bahasa Indonesia, sejak tingkat SD, SMP, SMA, bahkan saat saya mahasiswa, tata bahasa untuk bahasa Indonesia pasti berubah-ubah. Beda halnya dengan bahasa Inggris yang grammar nya memang sudah menjadi standar dan lestari sejak bertahun-tahun lamanya. Contoh kecil saja, untuk penggunaan kata “prakata,”, “pengantar”, dan “kata pengantar.” Definisi dan penggunaannya tidak sama antara apa yang diajarkan kepada saya di SMA dan di perguruan tinggi. Saya tidak percaya jika guru dan dosen saya memiliki ilmu bahasa yang kurang. Saya juga kurang yakin kalau perubahan-perubahan itu muncul akibat kesepakatan Kongres Bahasa Indonesia yang diadakan hanya lima tahun sekali. Puncak-puncaknya saya kesal saat harus mengumpulkan tugas akhir di mata kuliah “Tata Tulis Karya Ilmiah” yang berujung terhapusnya beberapa pemahaman tata bahasa yang saya kuasai sejak di SMA dan saya pelajari untuk mengadapi SNMPTN. Sejak saat itu saya merasa ada ketidaksinkronan diantara pakar bahasa dan budaya kita. Dan sejak itu saya menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah ilmu tidak pasti. Disinilah pentingnya berbagi peran dalam melestarikan bahasa Indonesia. Mengampanyekan gerakan berbahasa Indonesia yang baik dan benar saja tidaklah cukup. Sebagai masyarakat awam, memang itu porsi saya, tapi untuk kalangan akademisi di bidang bahasa Indonesia, sastrawan, budayawan, dan bahkan jurnalis, merumuskan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan menyosialisasikannya adalah porsi mereka. Tentang perumusan bahasa Indonesia yang baik dan benar, menurut saya harus terus menerus dilakukan. Belum sampai satu abad usia bahasa kita jika mengacu pada momen Sumpah Pemuda sebagai deklarasi awal penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dalam usia yang masih muda itu, kajian-kajian terhadap penyerapan kosakata baru dan aturan ketatabahasaan masih harus dilakukan. Saya sendiri masih kelabakan kalau harus menulis makalah teknik yang sarat dengan istilah-istilah asing namun tidak bisa menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Tugas berikutnya, menyosialisasikan kosakata dan tata bahasa yang sudah dirumuskan. Hal ini juga sangat penting. Bagi saya yang sudah tidak belajar atau kuliah bahasa Indonesia, sangatlah terbatas untuk mengetahui informasi-informasi terkini tentang ketatabahasaan. Sejauh ini kemampuan tata bahasa saya diperoleh dari media-media cetak nasional, seperti Kompas, dan juga penerbit-penerbit buku yang memang sudah terkenal memerhatikan masalah tata bahasa. Beberapa penerbit dan media cetak lain saya lihat masih saja memiliki ketidakseragaman di tata bahasanya. Itulah mengapa saya sebutkan bahwa bahasa Indonesia itu adalah ilmu tidak pasti. Karena untuk kalangan yang seharusnya menjadi rujukan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar saja, penggunaan tata bahasanya masih berbeda satu sama lain. Jika saya dimintai pendapat atau usulan dalam Kongres Bahasa Indonesia atau seminar tentang bahasa Indonesia, hanya satu permintaan saya kepada para pakar bahasa: “Jadikanlah bahasa Indonesia menjadi ilmu pasti!” Dipaksa atau terpaksa berbahasa Indonesia yang baik dan benar: Pilih yang mana? Kembali ke pengalaman saya berinteraksi dengan orang Jepang di atas, saat itu sebisa mungkin saya menggunakan bahasa Indonesia formal yang biasa digunakan untuk menulis tugas atau laporan saat masih di Indonesia. Rasanya janggal juga. Tapi jika saya berbicara menggunakan bahasa yang tidak baku, mereka mungkin tidak akan mengerti. Ini sebenarnya kali kedua saya bertemu orang Jepang yang bisa berbahasa Indonesia. Sebelumnya saya bertemu dengan seorang pria Jepang yang sedang antusias belajar bahasa Indonesia, Taichinamanya. Minggu-minggu awal kami berteman, dia rajin menyapa saya lewat WhatsApp, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar tentunya. Saya pun terpaksa membalasnya dengan bahasa Indonesia yang formal. Lucu dan malu juga rasanya. Lucu karena saya berpura-pura menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Malu karena saya merasa ditegur oleh bangsa lain untuk menggunakan bahasa nasional saya dengan baik dan benar. Ada yang berkata, kita akan lebih mencintai Indonesia jika sudah berada di negeri orang. Saya setuju terhadap pernyataan tersebut. Namun saya tidak menyangka hal tersebut berlaku pula untuk kemampuan bahasa Indonesia saya. Saya menjadi lebih peduli tentang bahasa Indonesia karena bertemu orang-orang asing yang berbahasa Indonesia dengan baik. Sejak saat itu saya berpikir daripada terpaksa menggunakan bahasa Indonesia yang baik saat bertemu orang Jepang yang bisa berbahasa Indonesia, akan lebih baik jika saya memaksa diri saya sendiri untuk berbahasa Indonesia. Hal ini bisa dilatih dengan aktif menulis artikel dalam bahasa Indonesia dan mulai melatih diri menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam forum-forum yang pesertanya berasal dari berbagai macam daerah di Indonesia. Jadi dari pengalaman saya ini, hanya ada dua pilihan bagi saya: dipaksa atau terpaksa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Dipaksa itu bagi saya berarti memaksa diri sendiri meningkatkan kemampuan berbahasa, karena tidak mungkin orang lain memaksa saya menggunakan bahasa yang baik. Dan menurut saya, itu adalah pilihan yang terbaik. Jika memilih “terpaksa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” ada kemungkinan kita menunjukan kualitas bahasa Indonesia yang tidak bagus, karena tidak ada persiapan dan tidak ikhlas dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh karena itu mari bersama-sama memperbaiki kualitas berbahasa kita sehingga jangan sampai ada orang asing bertanya kepada kita, “Sudah berapa lama Anda belajar bahasa Indonesia?” Tentunya ini pertanyaan retoris jika ditanyakan kepada orang Indonesia. Dan jawaban seperti Ai, “Tidak mau kasih tahu, malu,” bukanlah jawaban yang tepat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun