Mohon tunggu...
Ghalif Putra Sadewa
Ghalif Putra Sadewa Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta

Sehari-hari menjadi staf pengajar di Prodi Fotografi, FSMR, ISI Yogyakarta. Sisanya, bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinergi Penduduk dalam Desa Mandiri

4 Oktober 2021   15:16 Diperbarui: 10 Oktober 2021   20:26 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desa mandiri adalah istilah yang digadang-gadang sebagai ikon wisata ekonomi. Bagaimana potensi dan kekuatan lokal masyarakat bisa tumbuh menjadi kemandirian dalam bidang ekonomi, sosial hingga kebudayaan yang berbasis di desa. Jika ditinjau, desa mandiri terdiri dua suku kata. Desa, merujuk kepada suatu wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga dan memiliki sistem pemerintahan dengan dikepalai seorang kepala desa/lurah. Sedangkan Mandiri, kondisi di mana suatu subjek dianggap dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung kepada pihak lain atau orang lain. Maka desa mandiri bisa dianggap perubahan wajah desa yang dahulunya kurang makmur kini sejahtera karena upaya yang dilakukan oleh desa, pengelola desa, dan masyarakatnya. Bisa berupa mutu pendidikan warga, infrastruktur desa, dan tentu saja ekonomi yang tumbuh sebagai kunci dari semuanya.

Kedaulatan desa adalah identitas Indonesia di mana desa menyokong kebutuhan hidup. Suatu desa bisa disebut mandiri ketika masyarakatnya mampu menyimpulkan dan memutuskan apa yang tepat untuk sumber daya alam, potensi, serta sumber daya manusia di dalamnya. Program yang tepat untuk mengelola potensi desa kerap kali disinggung di banyak kesempatan tetapi sayangnya tidak semua program itu mulus dipraktikan. Krisis tertentu kerap mewarnai gejolak desa dalam rangka bangkit dan menuju kemandirian. Warga sebetulnya telah banyak memperdayakan dirinya dengan menciptakan industri-industri rumah tangga. Namun godaan kadang tak terbendung. Wajah desa dengan potensi pertanian, ladang, peternakan, wisata, dan kebudayaan kini hampir seragam mengarah ke sektor wisata kuliner.

Dewasa ini, wisata kuliner sedang menjadi primadona. Menjajakan beragam olahan dengan pemandangan pematang sawah, bukit, atau sungai. Karena menu utama yang dijual adalah "wisata/tempat" tak heran kalau kemudian banyak lahan produktif berganti ruang makan dan tongkrongan. Sebagai contoh kecil, menjamurnya kafe yang tumbuh subur tidak disertai pemahaman potensi masing-masing desa hanya sebatas memindahkan bangunan beton ke tengah sawah, bukit, atau pesisir pantai.

Alhasil, tidak ada memori yang membekas ketika pembeli datang ke sana selain harga yang relatif mahal. Pada kasus seperti ini justru produsen alat diuntungkan, betapa banyak alat produksi dengan kualitas rendah terjual guna memenuhi pasar. Memang kalau ditinjau dari segi pendapatan, bisa saja meningkat di kuartal awal karena konsumen penasaran suguhan wisata seperti apa yang ditawarkan tetapi bukan jaminan bisa bertahan. Tak heran pendapatan instan memang menggiurkan tetapi tidak sedikit yang kemudian justru penduduk desa hanya berpartisipasi sebagai penonton.

Tercerabut dari akar desa ibarat bom waktu menunggu momentum meledak. Sebuah perubahan pasti berdampak, tetapi sejauh mana dampaknya maka hal itulah yang harus dicarikan solusi. Potensi di desa sebetulnya luar biasa, asal mau bergerak disertai jalur yang tepat, maka desa bisa bermartabat, mandiri, dan berdaulat. Membuka kafe, wisata kuliner, atau masuknya investasi ke desa bukanlah hal salah. Namun, desa dengan kekayaan sumber daya baik alam maupun manusianya patut digali dan dikelola. 

Meminimalkan bahan baku impor dan menggenjot produk kearifan lokal bisa menjadi opsi untuk menekan permasalahan dikemudian hari. Sah saja jika anak muda dengan gairah yang bergelora ingin mengikuti tren tetapi wajib berinovasi dengan kerangka berpikir: budidaya potensi pengelolaan berkelanjutan hasil, sehingga desa menjadi pusat produksi. Akhirnya, desa mampu mengelola sumber daya karena keterlibatan aktif warganya yang bukan sekedar menjadi penonton tetapi justru memegang peran utama dalam rangka mewujudkan kelestarian segenap produk ciptaan yang menjadi anugerah. 

Barangkali, inilah yang dimaksud membangun desa dari dalam menuju DESA MANDIRI.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun