Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, begitulah adanya. Dalam bekerja atau hidup bermasyarakat, pasti ada saat-saat dimana hujaman fitnah, gosip, atau prasangka datang. Saya pribadi beberapa kali menghadapinya, namun setiap kali ingin marah atau balik membalas, niat itu lekas-lekas diurungkan.
Jika memang itu prasangka yang salah, maka prasangka itu mestilah tak berbukti. Sedangkan satu-satunya bukti adalah perbuatan kita sendiri. Orang baik dipandang baik karena berbuat baik, orang jahat dipandang jahat karena berbuat jahat. Orang baik bertutur kata yang baik, namun orang jahat pun bisa dipandang baik karena berpura-pura baik dalam kata-katanya. Satu-satunya cara membuktikan kebenaran prasangka adalah tetap berbuat baik apapun yang terjadi.
Masih tak ada apa-apanya ketimbang teladan kesabaran Muhammad SAW sebagai Ulul Azmi. Dalam perjalanan dakwahnya ia menerima cercaan, ujaran-ujaran kebencian, ancaman pembunuhan, tetapi tak lantas ia balas atau menyerah. Ia ikhlaskan sepenuhnya konsekuensi itu dan menyandarkan keteguhan hatinya karena keimanannya pada Allah semata.
Semoga Allah SWT menabahkan hati, menegarkan pendirian, dan menegapkan langkah kita pada jalan yang Dia ridhoi, jalan-Nya yang lurus.
Belakangan ini negara kita pun tengah diporakporandakan dengan kehadiran hoax, kalau boleh saya sebut fitnah di era digital. Sampai-sampai menimbulkan perpecahan, permusuhan, kerusuhan, dan keputusan pemerintah memblokir sementara akun-akun media sosial yang ditengarai sebagai pemicu bertebarannya informasi-informasi hoax.
Saya pribadi belum mau menilai lebih lanjut karena terlalu terbukanya media sosial, terlalu banyak informasi bertebaran dimana-mana, dengan versi keyakinannya masing-masing. Informasi yang disangka hoax bisa jadi adalah fakta yang tertunda untuk memvalidasi kebenaran, informasi yang disangka benar malah bisa jadi merupakan fakta-fakta yang sengaja digunakan untuk memobilisasi opini publik pada suatu kepentingan. Agak kompleks membicarakan ini.
Tawakal
Tawakal berarti berserah diri, semoga tidak disalahartikan sebagai 'menyerah'.
Dalam kaitan hidup kita sehari-hari, tawakal berarti bekerja dengan totalitas. Seorang siswa belajar dan mengerjakan soal-soal tes dengan sungguh-sungguh, setelah itu ia ikhlaskan apapun hasilnya. Seorang karyawan bekerja keras dengan penuh semangat, soal promosi jabatan ia serahkan sepenuhnya pada kehendak Tuhan. Seorang atlet berlatih keras dan mengikuti kejuaraan dengan fokus, menang atau kalah ia yakini sepenuhnya sebagai kehendak Tuhan. Inilah sebabnya proses selalu diawali dengan doa dan manusia-manusia beriman selalu tampak bahagia karena keikhlasannya.
Tawakal mengingatkan saya pada rukun iman keenam, yakni iman kepada qada dan qadar. Memercayai sesuatu yang baik ataupun buruk datangnya karena kehendak Allah, merupakan takdir.
Saya ingin bercerita pengalaman pribadi sewaktu berniat mengikuti kompetisi blog bertemakan pertanian. Sebagai nilai tambah, saya berusaha kesana-kemari mencari narasumber. Siapa sangka tanpa diduga-duga, di tengah kerumunan jamaah kajian Zuhur di sebuah masjid, disanalah saya dipertemukan dengan seorang pemilik tanah agribisnis seluas 60 hektare di Magelang yang serta-merta memberikan saya pengetahuan lebih dari cukup mengenai masalah-masalah pertanian (silakan baca: Dalam Pertanian Modern, Petani Sejahtera Masih Menunggu Giliran). Selama seminggu artikel dirampungkan, dalam keyakinan saya, menang atau kalah adalah urusan Tuhan, tapi yang jelas saya puas sudah bekerja keras.
Hati Tenteram Karena Iman
Sujiwo Tejo berkata, "Menghina Tuhan tidak perlu dengan umpatan atau membakar kitab-Nya. Khawatir besok tidak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan."