Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan featured

Pelayanan di Era Citizen 4.0

21 Januari 2019   12:37 Diperbarui: 30 Januari 2020   11:37 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pict Source: http://elsaonline.com/

Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar istilah "pelayanan" atau pelakunya yang biasa kita sebut "pelayan"?

Saya mengangkat topik ini setalah tiba-tiba saja tersadar sembilan tahun sudah saya mengabdikan diri sebagai seorang pelayan, atau berkecimpung di bidang pelayanan. Citizen 4.0 sendiri merepresentasikan karakter masyarakat di era digital, merupakan judul buku karya Hermawan Kartajaya et al (2018).

I am a servant

Pada tahun 2009, ayah mendirikan sebuah bisnis studio musik, laris dan punya banyak pelanggan setia. Kala itu usia saya 14 tahun, untuk pertama kalinya saya diperkenalkan dengan konsep pelayanan, arti pentingnya bagi pelanggan dan dampaknya terhadap keberlangsungan sebuah bisnis. Bahwasanya hal fundamental terletak pada standar operasional prosedur (SOP) yang direncanakan dengan matang, berorientasi pada kenyamanan dan pengalaman mengesankan bagi pelanggan, di satu sisi mengakomodir sistem keamanan bagi pelaku usaha.

Juga satu konsep paling dasar dari sebuah customer engagement, yakni transparansi, melayani dari hati dan menjaga relasi. Selama hampir delapan tahun saya mengabdikan diri terlibat dalam perencanaan dan operasional bisnis keluarga tersebut.

Saat usia 18, saya menantang diri membuka bisnis sendiri. Kala itu saya tidak punya tabungan ataupun keberanian untuk meminta sponsor orang tua, lantas "Adakah bisnis yang bisa dilakoni tanpa modal sepeserpun?". Akhirnya terpikir, kenapa tidak menjual jasa berdasarkan kemampuan yang melekat pada diri sendiri, saya memilih 'imu' dan 'pengajaran'.

Saya membuat sebuah prosedur yang menguntungkan untuk pelaku usaha sehingga tidak ada biaya finansial yang harus dikorbankan, namun menjadi value added atau benefit bagi pelanggan. Yakni menjadi guru bimbel privat datang ke rumah. Modul materi saya buat sendiri, namun biaya cetak modul ditanggung peserta. Berbekal kemampuan marketing, perencanaan prosedur, dan teknik komunikasi dalam mengajar, tak disangka-sangka bisnis laris manis. Selama setahun, tak kurang dari 50 murid saya layani. Number is just number, hal terpenting adalah semua pelanggan merasa terjamin, senang, dan setia terhadap layanan yang kita berikan.

Jiwa pelayanan itu ternyata semakin menjadi setelah kuliah. Bergabung dalam organisasi kemahasiswaan selama dua periode, artinya saya menerima konsekuensi sebagai pelayan mahasiswa. Di luar itu, saya menjadi pelayan masyarakat dengan membuat sebuah komunitas sosial kecil-kecilan berbasis edukasi untuk kalangan marginal Bandung. Juga di saat bersamaan, empat semester menjadi tutor mahasiswa mata kuliah ekonomi makro.

Setelah lulus kuliah, barangkali memang inilah jalan Tuhan, saya diterima bekerja untuk divisi yang berurusan dengan pelayanan pelanggan.

Why service?

Pada dasarnya, semua manusia mengalami fase dirinya mau tak mau harus dilayani dan melayani, serta atas dasar pilihan ia memutuskan untuk melayani atau dilayani. Bagaimana menurut Anda?

Apa sejak lahir Anda sudah bisa mengurus diri sendiri? Pastilah orang tua, paman, bibi, atau kakak Anda yang akan melayani segala kebutuhan Anda. Kemudian sampai Anda bisa melakukan aktivitas dasar tanpa bantuan orang lain, seperti mandi, memakai baju, atau makan, artinya Anda sudah mampu melayani diri sendiri. Saat memasuki fase hidup yang lebih profesional, Anda dihadapkan pada kesempatan-kesempatan yang membuat Anda harus melayani kebutuhan orang lain atau menerima layanan dari orang lain.

Pelayanan adalah sesuatu yang melekat pada diri setiap manusia.

Service becomes more valuable

Semakin maju peradaban, perekonomian semakin bergerak menuju jasa dan nilai-nilai humanisme semakin berharga.

Di era pertanian, faktor terpenting adalah ketersediaan dan pengelolaan tanah. Kekayaan ada pada mereka sang pemilik tanah. Memasuki era industri, penyediaan produk menjadi paling utama. Kekayaan ada pada mereka si pemilik pabrik dan mesin-mesin. Di era informasi, kekuatan ekonomi terletak pada pemikiran dan kreatifitas manusia, negara-negara mulai bergeser dari sektor industri ke jasa. Bargaining power yang sebelumnya dimiliki produsen direorientasi ke customer. Muncul ungkapan yang sangat kita percayai sebagai kunci kepuasan pelanggan, yakni pelanggan adalah raja.

Di era digital, sudah lebih tinggi lagi levelnya! Bukan hanya customer satisfaction, tetapi human spirit. Melibatkan lebih banyak dimensi humanisme, mendeskripsikan pelanggan sebagai 'seutuhnya manusia', bukan lagi sekadar sumber pendapatan perusahaan. Sebab era digital mengubah lanskap hubungan masyarakat dunia dari vertikal, eksklusif, individualis menjadi horizontal, inklusif, sosial. Kalau bicara soal manusia dan sosial, sudah jelas ini ranahnya pelayanan!

Dimensi humanisme pelanggan diantaranya rasa, intuisi, respect, pengetahuan, cinta, pengalaman, dan ekspektasi. Oleh karenanya, salah satu bentuk adaptasi perusahaan-perusahaan saat ini adalah berinvestasi pada pengelolaan customer experience. Saya kutip pernyataan Project Director of CX Transformation Telkom Indonesia, Sri Safitri dalam GlobeAsia (2018):

"I think customer experience is crucial as we need to ensure the satisfaction of customers of our services, and their loyalty".

Sedangkan kalau kita bicara soal sosial, kita bicara soal apa arti pelayanan sesungguhnya. Pelayanan berarti menempatkan kesulitan, kelemahan, dan kebutuhan orang lain pada pundak tanggung jawab kita dan berusaha maksimal dalam menyediakan solusinya.

If the world gets more complicated, service must be simpler

Menurut Anda, kian hari dunia semakin kompleks atau malah semakin sederhana?

Seiring perkembangan jaman, muncul hal-hal baru, baik berasal dari pengembangan hal-hal yang sudah ada maupun penciptaan hal-hal yang sebelumnya tidak ada sama sekali. Manusia disuguhkan semakin banyak hal dalam kehidupan, semakin banyak pilihan, sehingga keputusan dibuat berdasarkan manajemen sumber daya yang kian kompleks.

Namun di satu sisi, kompleksitas itu menyederhanakan hidup sehingga kita bisa lebih mudah dan cepat memenuhi kebutuhan. Seperti manfaat yang ditawarkan smartphone, social media, online shop, transportasi online, entertainment online streaming media, dsb.

Kata kuncinya adalah kemunculan konsep baru harus menyederhanakan sesuatu yang kompleks, prinsip ini harus dihadirkan dalam pelayanan. Sejalan dengan hakikat dari pelayanan itu sendiri, membantu manusia agar lebih mudah mencapai tujuannya dan keluar dari masalahnya.

Saya senang Suryono Ekotama (2018) telah membeberkan fakta bahwa prosedur yang roemit hanya akan menjadi bumerang bagi perusahaan. Judul karyanya cukup bombastis, Matinya Perusahaan Gara-gara S.O.P. Faktanya, hal yang paling diinginkan pelanggan adalah solusi cepat dan tepat, namun di satu sisi alasan terbesar ketidakpuasan pelanggan berasal dari prosedur yang rumit. Jika prosedur rumit, bagaimana bisa perusahaan menawarkan solusi cepat bagi pelanggan?

Selain kecepatan, penting juga bertransformasi menjadi omnichannel di era digital ini karena menyediakan banyak pilihan bagi pelanggan berarti menyederhanakan hidupnya. Menjadi omnichannel berarti memastikan pelayanan hadir untuk pelanggan dimana saja, kapan saja, dan melalui media apa saja. Siapa tak kenal dengan salah satu provider telekomunikasi paling populer di Indonesia, Telkomsel? Jika dulu pelayanan Telkomsel hanya hadir di GraPARI atau call center untuk membantu menyediakan informasi yang dibutuhkan pelanggan, memenuhi permintaan pelanggan, juga menangani berbagai keluhan pelanggan, maka kini semua aktivitas yang sama dihadirkan di genggaman pelanggan. Telkomsel menyediakan layanan di berbagai media sosial seperti Line, Telegram, Facebook, Twitter, juga aplikasi MyTelkomsel.

The most important is human spirit

Idealnya, manusia melalui empat life-stage dalam setiap 20 tahun usianya. Sampai di life-stage keempat, seseorang akan menjadi manusia yang utuh, yaitu manusia yang memiliki empat passion: knowledge, business, service, dan people. Kurang lebih inilah deskripsi human spirit versi Kartajaya et al (2018).

Di era digital, dikarenakan dunia semakin terkoneksi dan informasi semakin cepat beredar, kian hari manusia kian open minded dan adaptable. Keterbukaan dan kemampuan adaptasi itu menyebabkan Generasi Y (kelahiran 1981-1997) dan Generasi Z (kelahiran 1998-2010) melalui fase lebih cepat menuju life-stage keempat, terjadi setiap 10 tahun usianya. Tak heran jika saat ini tren kesuksesan dipelopori oleh anak-anak muda, seperti Nadiem Makarim (GO-JEK), William Tanuwijaya (Tokopedia), Achmad Zaky (Bukalapak), dan Ferry Unardi (Traveloka). Anak-anak jaman now menjadi profesional dan bijaksana lebih cepat dibanding generasi-generasi pendahulu.

Ada tiga kelompok yang menjadi kunci di era digital, yaitu YWN. Youth sebagai mindshare (pencetus ide-ide brilian, open minded dan rasional), Woman sebagai marketshare (sensitif dan multitasking), dan Netizen sebagai heartshare. Inilah pelanggan-pelanggan kita di era digital.

Lantas bagaimana human spirit dapat diakomodir dalam manajemen pelayanan? Nantikan artikel berikutnya ya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun