“Lalu, apa hubungannya dengan anak ini, Mas?”
“Kami semua sudah putus asa. Atasanku akhirnya memanggil paranormal untuk membereskan masalah ini. Dia bilang, penunggu di sana marah karena rumahnya dirusak. Kalau kami tidak segera berhenti, para makhluk halus itu akan bertindak lebih jauh. Mereka akan mulai memakan korban.
"Paranormal itu memberikan satu solusi agar para makhluk halus itu tidak mengganggu lagi. Kami harus memberikan tumbal. Seorang anak manusia,” kata Pius dengan suara bergetar.
Sang istri bergidik. “Jangan bilang anak ini, adalah...” kata-katanya tak mampu ia lanjutkan.
Pius mengangguk.
“Gila kamu, Mas! Kenapa kamu mau saja terlibat hal seperti itu?”
“Aku bisa apa? Aku cuma pegawai rendahan yang kebetulan tahu rencana ini. Aku tidak punya suara untuk mencegah mereka.”
“Lalu kamu akan diam saja dan menjadi pembunuh?”
“Tidak tahu,” desah Pius. “Aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Mas bisa lapor polisi.”
“Aku tidak punya bukti kuat. Bisa saja aku yang dilaporkan balik karena pencemaran nama baik. Lagi pula, hukum ada di pihak mereka yang punya banyak uang.”
“Mas tidak harus menyerahkan anak ini. Aku tidak peduli kalau Mas dipecat. Toh masih banyak pekerjaan lain yang lebih baik dari tempat Mas sekarang.”
“Kamu tidak sadar? Aku sudah dijebak dengan anak ini.”
“Dijebak gimana, Mas?”
“Atasanku tahu kalau di antara orang yang tahu rencana ini, akulah yang paling mungkin berkhianat. Dengan anak ini bersamaku, posisiku tidak menguntungkan. Mereka bisa saja melaporkanku ke polisi dengan tuduhan penculikan anak kalau aku macam-macam.”
Sang istri mulai paham dilema yang tengah di hadapi suaminya. Mereka berdua diam. Bayi yang dibawa Pius mulai gelisah dan tidak lama tangisannya pecah. Pius mengangkat bayi itu. Barangkali dengan digendong bayi itu akan diam. Namun tidak, bayi itu masih saja menangis. Sang istri menggantikan Pius menggendong bayi itu.