Mohon tunggu...
Gerry Gratias
Gerry Gratias Mohon Tunggu... Karyawan Swasta II Penikmat Jogja -

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Bersua Jazz ala Yogyakarta

25 November 2018   18:08 Diperbarui: 25 November 2018   19:45 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat seminggu lalu, namun cuacanya tidak sedemikian hujan. Saya bersama beberapa teman dekat menyambangi kawasan selatan Yogyakarta. Kali ini dari setelah tengah hari sampai malam nanti akan bersua nuansa jazz ala Jogja.

Usai makan siang kami berangkat dari kawasan Jalan Magelang. Sebab hari Sabtu, perjalanan dengan kuda besi ini sepertinya akan memakan waktu satu hingga dua jam. Sampai dilokasi, kami segera mencari lokasi strategis untuk tempat parkir. Telah banyak memang orang-orang yang menawarkan 'aba-aba'-nya bagi para pengendara.

Cuaca yang tidak begitu panas namun sepertinya tidak akan hujan menjadi sambutan kami sesampainya di Desa Pandak, Bantul. Ini kali kesekian kami serombongan menikmati jazz dengan latar desa sebagai venue-nya.

Wawasan Wiyata Mandala

Sebagai penikmat jazz yang biasa saja, kami lebih menikmati suguhan acara dengan banyak jalan-jalan keliling desa. Masih ingat dahulu ketika jaman putih biru, ada sesi wawasan wiyata mandala; dimana murid diajak berkeliling sekolah untuk mengenal kanan kiri sekitar pada masa orientasi siswa.

Seperti itu sensasi kami sore itu, saat lelah kanan kiri banyak penjual makam minum. Konsisten, Ngayogjazz selalu berhasil menyulap sensasi kampung menjadi desa yang eksotis baik bagi penikmat manca maupun domestik. Hal lain yang menarik untuk Ngayogjazz kali ini disuguhkan lebih banyak panggung dibandingkan event edisi tahun lalu; yang berarti banyak panggung, banyak artis, banyak yang bisa dinikmati aksi panggungnya.

(Bukan) Suguhan Musikalitas Populer Semata

Satu yang berkesan lagi bagi rombongan kami kala itu adalah para penampil acara Ngayogjazz. Sebagai penikmat jazz yang semenjana, praktis kami hanya akrab dengan nama seperti Syaharani dam Tohpati. Selebihnya bahkan baru kami dengar sewaktu mengisi panggung kala itu.

Diskusi kami kala itu bahwa Ngayogjazz mengusung suguhan musikalitas dengan latar lanskap desa, tidak terbatas pada popularitas para penampilnya.

Kami mengamati kanan kiri pula malam itu, bahwa jazz merupakan kenikmatan dalam balutan komunal. Sehingga (mungkin saja) jika paket lengkap itu 'hanya' diartikulasikan lewat musisi terkenal sepertinya dangkal. Lebih dalam lagi, jazz dinilai dari musikalitas; jadi 'tidak akan mudah' para penampil dengan rating tinggi dapat tampil disini.

Hakikat Musik "Sederhana"

Para penggagas acara sepertinya ingin mengajak penikmat larut dalam hakikat jazz yang dekat tidak terbatas telinga; namun juga tak jauh dipandang mata.

Sederhana, persuasi demikian dipertegas melalui potret yang tidak dibuat-buat dari tatapan potret Desa Pandak sebagai lokasinya kali ini. Selain melestarikan jazz yang telah tersohor, event juga seperti memperkenalkan bahwa lanskap desa dapat dikondisikan sedemikian komersil.

Seorang Bambang Soepijanto pernah menggagas dan melakukannya di Gunungkidul dan Kulonprogo. Kawin mawin tajuk kebudayaan semerta komersialisme sektor usaha dapat dilaksanakan serempak.

Sehingga Ngayogjazz contohnya, dapat menjadi ajang untuk pembuktiannya dalam tajuk suguhan musik. Yogyakarta memang tidak jauh dari romantisme yang demikian, lantas bagaimana situasi kedepan dalam terpaan lini massa atas nama globalisasi? Menarik untuk ditunggu. Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun