Mohon tunggu...
gerry setiawan
gerry setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis jaringan epistoholik jakarta (JEJAK) Editor Buku "Internasionalisasi Isu Papua, Aktor, Modus, Motiv" Penerbit: Antara Publishing (2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pelajaran Buruk tentang Oposisi di Parlemen Vanuatu

5 September 2014   20:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:31 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14098985301219851307

[caption id="attachment_322476" align="aligncenter" width="477" caption="ilustrasi: m.bisnis.com"][/caption]

Gambaran “kekompakan” legislatif dan eksekutif di Indonesia pasca Pilpres 2014 kemungkinan akan rapuh. Atau setidaknya tak lagi sekokoh sepuluh tahun terakhir. Ini terjadi lantaran sama kuatnya komposisi kubu koalisi dan kubu oposisi di parlemen, kendati gerilya untuk saling unggul belum final.

Memang oposisi tak meti identik dengan ‘kelompok penjegal’ atau kekuatan politik yang akan mempersulit pelaksanaan program-program pemerintah. Karena sejatinya, oposisi berfungsi mengkritisi kebijakan pemerintah melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dimilikinya. Namun kita tak bisa menafikkan opini publik yang terlanjur dilekatkan kepada kelompok oposisi sebgai ‘kelompok penjegal’.

Pernyataan Jubir Koalisi Merah Putih (KMP) Tantowi Yahya dalam berbagai kesempatan bahwa KMP bertekad menjadi oposisi yang konstruktif sebagai kekuatan penyeimbang di parlemen, tetap saja ditafsir publik sebagai ‘kelompok penjegal’ atau –meminjam istilah Tantowi- ‘oposisi destruktif’.

Buktinya, hasil jajak pendapat Lingkarang Survei Indonesia (LSI) baru-baru ini memprediksi, Jokowi bisa menjadi presiden yang tak berdaya lantaran kurangnya dukungan DPR atas kebijakan yang dibuatnya sebab koalisi pendukungnya kalah kursi dari Koalisi Merah Putih. Hasil survey LSI itu seakan menjadi simpul dari kekhawatiran masyarakat atas berbagai gerilya politik yang tengah berlangsung.

Kita tentu bisa menangkap makna dari ‘presiden tak berdaya’ itu. Apalah artinya kekuasaan eksekutif kalau setiap kebijakannya “dijegal” legislatif. Tinggal menghitung hari untuk jatuh atau dijatuhkan, kendati dalam konstitusi kita tak mengenal ‘mosi tidak percaya’ sebagai mekanisme konstitusional untuk menggulingkan Kepala Pemerintahan, seperti di negara Vanuatu misalnya.

Belajar dari Vanuatu

Di negeri bekas jajahan Perancis itu, usia kekuasaan seorang kepala pemerintahan (Perdana Menteri) hanya hitungan bulan saja tergantung pada mosi ketidak-percayaan Parlemen. Mekanisme mosi tidak percaya itu menyebabkan keudukan Perdana Menteri Vanuatu dengan mudah digulingkan. Lawan-lawan politiknya sering menggunakan mekanisme ini dengan harapan mengalahkan atau mempermalukan pemerintahan.

Perdana Menteri Vanuatu saat ini dijabat Joe Natuman setelah pada medio Mei 2014 lalu kelompok oposisi di parlemen menjatuhkan Moana Carcasses Kalosil melalui ‘gerakan’ mosi tidak percaya. Usia Kalosil sebagai Perdana Menteri hanya 13 bulan. Kalosil “digoyang” gerakan mosi tidak percaya dipicu sejumlah kebijakan ekonominya dinilai ebih menguntungkan pihak asing ketimbang ketimbang kepentingan domestik. Padahal kebijakan ekonomi Vanuatu selama ini sudah terpatron dalam garis kebijakan grup kerjasama ekonomi kawasan Pasifik Selatan, yaitu Melanesian Spearhead Group (MSG).

Perdana Menteri sebelumnya adalah Sato Kilman yang digulingkan kelompok oposisi pada Maret 2013 lalu, juga melalui gerakan mosi tidak percaya. Sato Kilman hanya berusia 19 bulan di kuris perdana menteri. Saat ini Sato Kilman diakomodir dalam kabinet Joe Natuman sebagai Menlu. Perdana Menteri sebelum Sato Kilman adalah Edward Natapei yang sempat beberapa kali menjadi perdana menteri dengan total usia jabatan sekitar 40 bulan lebih.

Dalam 10 tahun terakhir situasi politik di Vanuatu di Pasifik Selatan itu memang sangat dinamis oleh upaya saling jegal antara kelompok oposisi melawan kelompok koalisi. Kita patut khawatir situasi politik di Vanuatu bisa terjadi di Indonesia manakala kelompok atau fraksi-fraksi oposisi di DPR RI ‘sama kuat’ atau bahkan lebih besar jumlah anggotanya darirpada fraksi-fraksi pendukung Pemerintah (koalisi).

Celah hukum Jegal-menjegal

Kendati tidak ada mekanisme mosi tidak percaya dalam konstitusi kita, namun ada celah hukum yang jika dimanfaatkan maka konsekuensi hukumnya berdampak sama dengan mosi tidak percaya. Celah itu adalah melalui penggunaan hak-hak DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 tentang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam UU tersebut, DPR memilikihak  interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Dari hasil pelaksanaan ketiga jenis hak tersebut, kelompok Oposisi dapat melanjutkan proses hukumnya ke tingkat yang lebih tinggi. Mekanisme untuk itu sudah diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Bila DPR menemukan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti diatur dalam Pasal 77 ayat (4) UU 27/2009 huruf c, maka perkara itu akan dibawa ke MK. Setelah MK mengeluarkan putusan, putusan itu akan diserahkan lagi ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk melakukan eksekusi. MPR dimungkinkan untuk melakukan eksekusi yang berbeda dengan putusan MK.

Bisa kita bayangkan kalau hal itu benar-benar terjadi di DPR nanti, tentu saja akan sangat merepotkan Jokowi-JK dan akan berdampak pada kinerja pemerintah. Harapan kita, Pemerintahan Jokowi-JK akan bekerja dengan penuh pengabdian bagi rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang telah memilihnya, maupun yang tidak memilihnya. Di atas semuanya adalah selalu berlandaskan Pancasila dan UUD sehingga tidak memberi celah kepada fraksi-fraksi oposisi yang bisa saja “mencari-cari” kesalahan Pemerintah.

Namun bagaimanapun juga, ini politik. Apa saja bisa terjadi dan sulit diprediksi. Dengan komitmen yang telah dibangun oleh Presiden terpilih Jokowi, kita percaya ke depan program-program pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memajukan bangsa Indonesia, akan semakin baik dan selalu dalam koridor hukum yang benar dan adil. Kita dukung Presiden terpilih Jokowi-JK untuk ‘Indonesia Hebat’.

Jakarta, 5 September 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun