Mohon tunggu...
gerry setiawan
gerry setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis jaringan epistoholik jakarta (JEJAK) Editor Buku "Internasionalisasi Isu Papua, Aktor, Modus, Motiv" Penerbit: Antara Publishing (2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nonsens, Referendum bagi Bendera dan Lambang Aceh

31 Maret 2016   13:02 Diperbarui: 31 Maret 2016   13:07 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption caption="google"][/caption]

Ada banyak isu yang turut mewarnai gejolak politik di Provinsi Aceh saat ini. Selain wacana pemberian amnesty kepada kelompok Din Minimi, tanah Rencong juga sedang ramai dengan isu kontroversial soal bendera dan lambang Aceh. Konon, kontroversi ini akan ditentukan melalui referendum.

Permasalahan ini diangkat dalam diskusi public yang digelar Selasa siang (29/3/2016) di  A Cafee, Kawasan Jeulingke, Banda Aceh bertema “Mungkinkah Referendum Bendera di Aceh dilaksanakan”.  Dua narasumber yang dihadirkan memberikan pendapat berbeda. Tohoh Partai Aceh (PA) yang juga adalah Ketua Komisi I DPR Aceh, Abdullah Saleh, bersikeras harus ada referendum.  Sementara Wiratmadinata, akademisi Aceh mengatakan, Referendum tidak bisa dibuat karena dasar hukumnya tidak ada.

Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Abulyatama ini, terminologi referendum tidak ada lagi di Indonesia. Dulu Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur referendum, namun untuk sekarang sudah tidak ada lagi karena dianggap tidak perlu. http://klikkabar.com/2016/03/30/soal-referendum-bendera-akademisi-tidak-ada-dasar-hukumnya/

Yang menarik, soal referendum ini ternyata tidak hanya bergema di Aceh. Tanah Papua juga tidak pernah sepi dari tuntutan kelompok aktivis agar referendum segera digelar guna menentukan status politik wilayah itu. Padahal referendum dimaksud sudah dilaksanakan 55 tahun silam (melalui PEPERA yang diawasi langsung oleh PBB) yang kemudian menjadi salah satu dasar kedaulatan Republik Indonesia di Papua. PEPERA pun tidak begitu saja digelar, tetapi berdasarkan MoU antara RI dengan Kerajaan Belanda (New York Agreement 1962) yang kemudian dikukuhkan dengan Resolusi PBB No. 1752 Tanggal 15 Agustus 1962 .

Latah

Lantas, atas dasar apa referendum untuk bendera dan lambang Aceh harus digelar? Mungkin saja Abdullah Saleh latah karena terinspirasi tuntutan para aktivis Papua merdeka saat ini. Namun sayangnya, sikap legislator Aceh itu tidak berdasar. Setali tiga uang dengan seruan parlemen jalanan dari Papua seperti KNPB misalnya. Padalah profesi utama Abdullah Saleh adalah seorang legislator yang mengawasi tindakan eksekutif Aceh dengan peraturan perundang-undangan sebagai acuannya.

Pernyataan Wiratmadinata bahwa  referendum untuk bendera dan lambang Aceh tidak ada dasar hukumnya adalah sebuah tamparan bagi Abdullah Saleh, sekaligus tamparan bagi semua wakil rakyat Aceh dari PA yang pikirannya sejalan dan sebangun dengan pikiran Abdullah Saleh.

Sekadar untuk berbagi, mari kita tengok beberapa dalil terkait referendum. Dari sejumlah definisi tentang referendum yang dikemukakan para ahli hukum tata negara, dapat disimpulkan bahwa referendum adalah mekanisme politik dengan cara jajak pendapat resmi terhadap rakyat untuk mengetahui kehendak mereka terhadap hal-hal khusus. Dan mekanisme ini lebih banyak digunakan di negara-negara yang menganut sistem demokrasi langsung. Sedangkan Indonesia menganut demokrasi perwakilan, dengan ciri-ciri sbb: 

Warga negara memilih wakilnya sebagai anggota legislatif negara untuk jangka waktu tertentu. Wakil rakyat yang terpilih kemudian membawa aspirasi rakyat yang diwakilinya untuk dibahas di parlemen. Wakil rakyat memutuskan berbagai isu penting atas nama rakyat. Wakil rakyat memiliki wewenang menunjuk pejabat untuk mengisi berbagai posisi di pemerintahan. Setelah para wakil rakyat menyelesaikan masa jabatannya, rakyat kembali memilih wakil mereka melalui pemilu.

Jika dalam demokrasi perwakilan, rakyat masih dilibatkan melakukan referendum, itu sama saja melegitimasi rakyat untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga legislatif yang kinerjanya buruk dan lamban…(John H. Ferguson dan Dean E. McHenry, 1961: 232).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun