Mohon tunggu...
Gentur Adiutama
Gentur Adiutama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pecinta bulutangkis dan pengagum kebudayaan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengulik Sejarah Indonesia Lewat Pameran di Festival Europalia

19 Oktober 2017   04:36 Diperbarui: 19 Oktober 2017   09:35 2652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pameran Power and Other Things menyemarakkan Festival Seni internasional Europalia. Sumber foto: Feri Latief.

Sebanyak 21 perupa Indonesia dan perupa Eropa menampilkan karyanya dalam pameran berjudul "Power and Other Things" (POT) di Festival Seni Internasional Europalia, yang berlangsung sejak 17 Oktober 2017 hingga 21 Januari 2018 di Galeri Seni Bozar, Brussels, Belgia. Masa kolonialisme Belanda dan Jepang, kedudukan perempuan dan imigrasi adalah beberapa hal yang diangkat oleh para seniman untuk memberikan pemahaman mengenai Indonesia dari sisi kontemporer. Pameran menampilkan karya seni rupa mulai dari periode 1835 hingga sekarang.

Kurator pameran, Riksa Afiaty dan Charles Esche dalam laman resmi festival mengungkapkan, pameran diawali dengan karya tiga perupa abad ke-19 yakni Raden Saleh, Jan Toorop, dan Emiria Sunassa. "Raden Saleh adalah pelukis pertama Indonesia yang meninggalkan negaranya dan menerima pendidikan Eropa di Belanda. Ia kemudian kembali ke Indonesia untuk memahami identitas gandanya."

Kurator Charles Esche bersama Riksa Afiaty memberikan penjelasan pada pembukaan pameran. Sumber foto: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya.
Kurator Charles Esche bersama Riksa Afiaty memberikan penjelasan pada pembukaan pameran. Sumber foto: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya.
"Di sisi lain, Jan Toorop adalah pelukis kelahiran Indonesia yang hijrah ke Belanda tetapi terus berhubungan dengan negaranya. Kemudian Emiria, setelah sempat tinggal di Brussels, ia menghabiskan seluruh hidupnya di Indonesia, memimpikan pendidikan yang lebih maju di Belanda. Dengan cara berbeda, seniman-seniman itu hidup dalam ketegangan kolonialisme, baik di Indonesia maupun di luar negeri," ujar Charles Esche. Lukisan dan sketsa yang dipamerkan merupakan koleksi Istana Kepresidenan, Galeri Nasional Indonesia, OHD Museum, Galeri Nasirun, dan S. Sudjojono Center.

Selain karya lukisan dan sketsa, pameran ini juga menampilkan karya instalasi baru dari para perupa lintas generasi Indonesia yang didatangkan langsung dari berbagai kota di Indonesia. Mereka diantaranya adalah FX Harsono, Agung Kurniawan, Mella Jaarsma, Saleh Husein, Maryanto, Antariksa, Dea Aulia Widyaevan, Leonardiansyah Allenda, Lifepatch, Timoteus Anggawan Kusno dan Octora Chan.

Karya Lifepatch tentang pergulatan sejarah pertempuran antara Kapten Hans Christoffel dan Sisingamangaraja XII. Sumber foto: Feri Latief.
Karya Lifepatch tentang pergulatan sejarah pertempuran antara Kapten Hans Christoffel dan Sisingamangaraja XII. Sumber foto: Feri Latief.
Karya Saleh Husein yang diberi judul "Kapitan Arab / Arabieren Controlled Territory" berangkat dari riset mengenai kehidupan warga keturunan Arab di Indonesia pada masa kolonial. Kongsi Dagang Hindia-Timur (VOC) pada saat itu memberikan ruang gerak bagi warga keturunan dengan adanya pemisahan pemukiman atau kampung. Dalam kampung-kampung tersebut, ditunjuklah seseorang untuk menjadi "Kapitan" atau pemimpin yang memiliki kuasa politik, administratif, dan ekonomi atas kampungnya. 

Secara umum, Kapitan Arab menimbulkan rasa tidak suka pada penduduk kampung karena dianggap hanya menguntungan pemerintah kolonial. Hal ini kemudian menimbulkan konsep dualisme kerja Kapitan Arab. Mereka melakukan kontrol terhadap perkampungan tersebut agar sesuai dengan aturan-aturan dari VOC. Namun di sisi lain, mereka turut membantu dan mendanai pertemuan-pertemuan antarwarga yang berupaya menolak kolonisasi.

Salah satu bagian dari karya Saleh Husein. Sumber foto: Feri Latief.
Salah satu bagian dari karya Saleh Husein. Sumber foto: Feri Latief.
Sementara Dea Aulia Widyaevan dengan karyanya yang berjudul "Planning to Forget: Decomposing Des Indes Hotel" memberikan gambaran visual kepada para pengunjung tentang transformasi gedung bersejarah Des Indes Hotel di Jalan Gajah Mada, Jakarta yang dikenal sebagai hotel mewah dan ikon Batavia pada masa kolonial Belanda dan lalu berubah menjadi pusat perbelanjaan Duta Merlin pada periode tahun 1970-an. 

Padahal hotel tersebut punya makna sejarah penting bagi bangsa Indonesia karena disanalah Perundingan Roem-Royen antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 7 Mei 1949 dilangsungkan. Perundingan itu menghasilkan pengakuan kedaulatan sebagian wilayah Indonesia oleh Belanda dan pelepasan Soekarno dan Hatta dari tahunan. Sungguh sayang jika generasi sekarang tidak melihat sedikitpun bekas kemegahan hotel tersebut.

Untuk itu, Dea membangun replika gedung Des Indes Hotel berukuran besar dari tanah liat khusus. Replika tersebut kemudian secara perlahan akan mencair karena air sehingga menunjukkan wajah gedung Duta Merlin seperti apa adanya saat ini. Replika gedung perbelanjaan yang dibuat dari resin cast itu "disimpan" oleh Dea di dalam replika gedung Des Indes Hotel.

Replika Gedung Des Indes Hotel dalam karya Dea Aulia. Sumber foto: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya.
Replika Gedung Des Indes Hotel dalam karya Dea Aulia. Sumber foto: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya.
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nadjamuddin Ramly menyampaikan, "Pameran POT sebagai rangkaian Festival Seni Internasional Europalia menjadi penting untuk menampilkan karya-karya para perupa Indonesia mulai dari modern hingga kontemporer. Isu yang diangkat juga menarik, bagaimana para perupa Indonesia baik yang modern hingga kontemporer memiliki posisi tawarnya masing-masing terhadap kolonialisme." 

Nadjamuddin juga menyebut bahwa secara teknik, para seniman Indonesia sudah mumpuni jika disandingkan dengan para seniman dari Eropa. Artinya, para penikmat seni yang datang ke pameran ini akan disuguhkan betapa majunya perkembangan seni rupa Indonesia, sehingga pameran ini dapat menjadi ajang diplomasi budaya melalui karya-karya yang ditampilkan.

Lebih jauh Nadjamuddin menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia dalam hal ini berupaya maksimal untuk dapat memfasilitasi para perupa dan pekerja seni Indonesia untuk tampil di panggung internasional. Harapannya, dengan proses ini terjadi saling pengertian baik antara negara penyelenggara (Belgia dan Indonesia), para seniman, kurator, galeri seni dan pihak terkait lainnya. Kedepannya diharapkan seniman Indonesia bisa mendapatkan kesempatan lebih banyak lagi dalam ajang yang bergengsi di tingkat dunia, dan tentu saja agar pemerintah Indonesia bisa lebih siap untuk memfasilitasi seniman-seniman terbaik dari seluruh penjuru negeri.

Karya Octora Chan dalam pameran Power and Other Things. Sumber foto: Tribunnews.
Karya Octora Chan dalam pameran Power and Other Things. Sumber foto: Tribunnews.
Salah satu mata acara penting dalam rangkaian pameran 'Power and Other Things" ini adalah simposium internasional bertajuk "Lupa Lupa Ingat: Imperial Zombies, Modern Vampires and Contemporart Ghosts" yang akan diselenggarakan di Royal Museum for Central Africa, Brussels pada 19 Oktober 2017. Simposium akan membahas sejarah konflik di Indonesia dan bagaimana kaitannya dengan sejarah pasca kolonialisme. Simposium akan menggali lebih dalam pemahaman mengenai seni modern dan kontemporer di Indonesia dan internasionalisasinya.

Saksikan juga proses persiapan pameran ini melalui video singkat yang dibuat oleh Mechsura Wijil Kaisar berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun