Pendahuluan
Di era digital yang dipenuhi kebisingan informasi, dakwah menghadapi tantangan baru---bukan hanya teknis, tapi juga filosofis. Banyak pesan kebenaran yang disampaikan dengan niat tulus dan dasar ilmu yang kuat, namun tak mampu menarik perhatian publik. Sebaliknya, tidak sedikit pesan-pesan yang viral dan mendapatkan banyak pengikut, tetapi isinya dangkal, bahkan menyesatkan dari sisi ajaran Islam.
Inilah dilema dakwah masa kini: antara "benar tapi tidak didengar" dan "didengar tapi tidak benar." Fenomena ini menuntut kita untuk merefleksikan kembali dua pilar penting dalam dakwah: kebenaran isi (epistemologi) dan keefektifan penyampaian (efektivitas). Tanpa keseimbangan antara keduanya, dakwah bisa kehilangan arah: entah menjadi elitis dan eksklusif, atau populis tanpa nilai.
1. Dakwah yang Benar tapi Tidak Didengar
Dakwah yang berbasis ilmu, dalil, dan pemahaman mendalam sering kali disampaikan dengan bahasa yang terlalu akademis, kaku, atau tidak sesuai dengan kebutuhan audiens. Akibatnya, pesan tersebut tidak mampu menembus ruang publik, apalagi menyentuh hati pendengarnya.
Selain itu, bisa jadi pesan yang disampaikan belum sepenuhnya dilakukan oleh pendakwah itu sendiri. Untuk memperjelas, berikut sebuah kisah yang dapat menjadi renungan.
Kisah Mbah Hasbi: Keteladanan Sebelum Ucapan
Seorang anak remaja memiliki kebiasaan yang tidak wajar: ia suka memakan garam dalam jumlah berlebihan. Kedua orang tuanya khawatir kebiasaan itu akan membahayakan kesehatannya. Mereka telah mencoba berbagai cara untuk menghentikannya, namun tak berhasil. Bahkan, sang anak tampak semakin kecanduan.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk meminta bantuan seorang kiai sepuh bernama Mbah Hasbi, dengan harapan beliau dapat menasihati anak mereka. Setibanya di kediaman Mbah Hasbi, kedua orang tua dipanggil ke ruangan khusus. Setelah mendengar keluhan mereka, Mbah Hasbi berkata, "Saya paham maksud dan tujuannya, tapi maaf, saya belum bisa memberi nasihat sekarang. Insya Allah, minggu depan saya akan berbicara dengannya."
Seminggu kemudian, mereka kembali. Tanpa banyak bicara, Mbah Hasbi berbicara sebentar secara pribadi dengan anak tersebut. Ajaibnya, sejak pertemuan itu, sang anak berhenti memakan garam secara berlebihan. Bahkan, ia menjadi lebih rajin beribadah. Orang tuanya pun kembali kepada Mbah Hasbi untuk mengucapkan terima kasih.
Sang ibu bertanya, "Mbah, bagaimana bisa anak kami berubah begitu cepat? Padahal nasihatnya singkat saja."
Mbah Hasbi menjawab, "Saya tidak banyak bicara. Saya menasihatinya dengan kasih sayang dan ketulusan. Tapi ada yang perlu ibu ketahui. Saat pertama kali kalian datang, saya sendiri masih mengonsumsi garam. Maka saya memilih untuk menahan diri terlebih dahulu. Saya berpuasa mutih selama seminggu---makan tanpa garam---agar nasihat saya bukan hanya kata-kata, tapi juga keteladanan."
Pesan dari kisah ini sangat jelas: sebelum memberi nasihat kepada orang lain, kita harus memulainya dari diri sendiri. Keteladanan lebih kuat daripada kata-kata.