In This Economy: Curhatan Hati Seorang Jomblo
Ada hasrat, menyambung tali kasih lewat temali primordial---ikatan suci bernama pernikahan. Namun apa daya, arus budaya mainstream kian deras, menghunjam dan mengakar dalam nadi sosial. Seperti Siti Nurbaya, aku pun bermuram durja, terhimpit oleh harkat dan benda yang membelenggu kemerdekaan.
Terjadi semacam tanam paksa---dibungkus rapi oleh budaya yang katanya valid dan otoritatif. Tradisi menjadi senjata, bukan pelindung. Dan atas nama para jomblo yang masih memelihara harap, aku bersaksi: tradisi patut dijaga, selama ia tidak memberatkan dan tetap memberi ruang bagi yang terpinggirkan.
Sumber Ilustrasi (Wikifedia).

Sumber Ilustrasi (Wikifedia).
Budaya sejatinya bukan beban, melainkan taman yang menebar pesona dan menabur aroma kebaikan, dari generasi ke generasi.
Maka aku bersabar. Mengumpulkan pundi-pundi harapan dan kesiapan mental. Sembari menyuarakan kebenaran, menggugat tatanan yang mungkin telah usang dimakan zaman---dan terlalu jauh bergeser dari norma yang dituntun agama.
Kita bisa belajar dari Sayyidina Ali RA---Amirul Mukminin---yang mempersunting Fatimah Az-Zahra RA, putri tercinta Rasulullah SAW, dengan hanya menjual baju besi seharga 400 dirham. Sebagaimana sabda Nabi,
"Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan."
(HR Abu Dawud, dari 'Uqbah bin 'Amir)
Dengan bismillah, aku beranikan diri. Untuk datang melamar dia yang telah lama kutitipkan dalam doa. Dengan cinta yang tulus, aku ingin membangun kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Karena dia---adalah orang yang kuanggap layak menjadi teman hidup, dalam suka maupun duka, hingga ke ujung usia.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!