Mohon tunggu...
Genta Unggul Ananta Asyrofle
Genta Unggul Ananta Asyrofle Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - Genta

Mahasiswa Fikom - Universitas Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dukung SDA dalam Negeri, UMKM bergerak melestarikan Kentang dari Tanah Dieng. Begini Sejarahnya!

27 November 2021   17:46 Diperbarui: 27 November 2021   17:54 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dataran Tinggi Dieng dikenal akan alamnya yang indah. Selain mengandalkan pariwisata, banyak warga Dieng yang kesehariannya hidup sebagai petani. Salah satu sektor pertanian yang ada di Dieng adalah kentang. Dagingnya besar, mulus, dengan warna daging buah yang kuning cerah. Kesuburan dan jenis tanah serta iklim yang mendukung membuat kentang Dieng sulit dicari tandingannya. Karena Kentang Dieng dikenal dengan rasanya yang empuk saat dijadikan olahan apapun untuk dihidangkan.

Dieng yang kita semua tahu adalah penghasil kentang terbesar di Indonesia.
Terlihat dari aktivitas para petani di Dieng, Jawa Tengah. Beberapa perawatan yang dilakukan adalah dengan penyemprotan anti hama dan juga pemberian pupuk yang sesuai.

Suhu antara musim Juli sampai Agustus sekitar 5 derajat celcius. Ada kemungkinan sekitar Agustus muncul bun upas, Bun upas adalah istilah warga Dieng untuk menyebut fenomena embun es yang biasanya terjadi sekitar bulan Agustus, pada puncak kemarau. Yang membuat Petani sedih dikarenakan mengalami kerugian, efek Bun Upas bisa menyebabkan racun bagi tanaman kentangnya.

Kentang kelahiran dataran tinggi Dieng mempunyai ciri khas yaitu berwarna Kuning Mentega, dan kadar airnya lebih rendah sehingga tidak mudah membusuk dan disaat digorengpun tidak mudah untuk menyerap minyak, dan kandungan karbohidrat dan gulanya pun rendah, makanya rasanya agak sedikit tawar, tapi itu yang menjadikan kentang dieng tersebut dapat diolah menjadi olahan masakan apapun. 

Untuk ukurannya sendiri kurang lebih 60mm-70mm untuk kategori sedangnya, untuk kategori besarnya bisa sampai 75mm-100mm, dan untuk beratnya sendiri pun bisa berubah-ubah tergantung musim dan kualitas disaat panennya. Untuk harganya pun per-kilo cukup diangka Rp.11.000 -- Rp.14.000. Dengan harga murah, tentunya Anda sudah bisa merasakan kenikmatan dari kentang tersebut.

Sejarahnya, kentang yang kini identik dengan Dieng sebenarnya adalah tanaman (impor) dari luar daerah. Sebelum kedatangan kentang, penduduk Dieng adalah penanam jagung dan tembakau. Durasi penanaman yang jauh lebih singkat dan nilai ekonomis yang dihasilkan kentang membuat para petani Dieng tergiur, dan perlahan tapi pasti meninggalkan tanaman tradisional mereka seperti tembakau dan jagung. Namun untuk satu hektar, pendapatannya saat panen bisa Rp 50 juta-Rp 60 juta, Dengan pendapatan yang menggiurkan itu, tak heran jika para petani Dieng kemudian banting setir menjadi penggarap kentang.

Sejak dekade 80-an, masyarakat di sekitar Dataran Tinggi Dieng mulai mengusahakan tanaman sayur-mayur dan beralih dari tanaman tembakau yang semula menjadi komoditas utama petani daerah tersebut. Sekitar tahun 1985 kentang diperkenalkan oleh petani dari daerah Pangalengan, Bandung. Yang membawa bibit untuk ditanam di wilayah Dataran Tinggi Dieng. Masuknya komoditi kentang di Dataran Tinggi Dieng menyebabkan perubahan arah pertanian masyarakat yang sebelumnya menanam palawija dan tembakau. Sebagai tanaman yang memiliki umur lebih pendek, komoditi ini dirasakan lebih menguntungkan oleh masyarakat setempat.

Berdasarkan informasi yang beredar, proses pengolahan lahan, penanaman, hingga pemanenan tembakau memiliki rentang waktu yang terlalu lama. Dalam satu tahun mereka hanya mampu panen satu kali, belum lagi ditambah dengan waktu pengolahan, selain itu tenaga yang dikeluarkan juga lebih berat.

Sebenarnya kentang juga sama, tetapi hasilnya lebih memakmurkan petani, tenaga yang dikeluarkan juga tidak terlalu banyak. Zaman dimana orang banyak yang menjual seng atap rumah untuk makan. Hal ini disebabkan tanaman tembakau sebagai komoditas utama yang menjadi tempat bergantungnya perekonomian penduduk hanya dapat dipanen sebanyak satu kali dalam setahun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun