Mohon tunggu...
Sugeng priyadi
Sugeng priyadi Mohon Tunggu... Guru - Teacher of Global Islamic School Serpong

Hidup untuk belajar. Belajar untuk hidup

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Manusia dan Kepunahan ke Enam

28 Mei 2020   19:39 Diperbarui: 28 Mei 2020   19:47 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saking banyaknya, bahkan orang yang berjalan disana seringkali tak sengaja menginjaknya. Namun, dalam jeda waktu 20 tahun saja, katak ini menjadi langka, dan susah ditemukan.

Bahkan sampai dibuatkan program perlindungan khusus katak ini. Pun juga dengan populasi badak Sumatra yang hari ini populasinya tidak melebihi seratus ekor. 

Padahal, pada awal abad ke 19, hewan ini sangat banyak, bahkan sampai pernah dianggap sebagai hama pertanian. Namun, dalam kurun waktu yang tidak sampai 100 tahun, populasinya jatuh, hingga tak lebih dari 100 ekor. Temuan terakhir pada tahun 2019 bahkan menyatakan jumlahnya tak lebih dari 70 ekor. 

Ada juga burung Alka besar, sejenis burung penguin, yang punah pada pertengahan abad ke 18. Spesies ini pertama kali ditemukan di daerah Islandia pada abad ke 16. 

Saat itu jumlahnya melimpah. Orang orang berlomba lomba menangkapnya. Dagingnya dijadikan santapan. Bulunya dicabuti untuk dijadikan pakaian. Pada 1821, Alka besar terakhir dibunuh oleh pemburu. Semenjak itu pula Alka Besar ikut bergabung ke barisan spesies yang punah karena ulah ketamakan dan sikap serakah manusia.

Kepunahan beberapa fauna diatas juga disponsori oleh semakin menipisnya keragaman flora dan semakin menyempitnya hutan di dunia. Jangan tanyakan ulah siapa. Hutan Amazon, yang menjadi hutan tropis terbesar di dunia, penyumbang 20 persen oksigen di bumi, dan rumah bagi 40  persen spesies di dunia, pada tahun 2018 lalu, luasnya telah berkurang 17 persen dari luas asalnya : 7.000.000 km persegi.

Sebagian upaya deforestasi tersebut digunakan untuk lahan pertanian, pembangunan infrastruktur, atau aktifitas pertambangan. Kini hutan Amazon hanya tersisa sekitar 5.500.000 Km persegi.  

Belum lagi kebakaran pada penghujung 2019 silam dimana menghanguskan 18.627 kilometer persegi, setara dengan 28 kali luas DKI Jakarta. Berkurangnya luas hutan di Amazon juga berarti berkurangnya keragaman hayati yang ada di dalamnya. Disini kita masih berbicara tentang hutan Amazon, dan belum menyentuh kabar hutan-hutan lainnya yang ada di Kalimantan atau Sumatra.

Seakan tidak cukup dengan pengrusakan masif flora dan fauna yang diakukan, manusia juga merusak keseimbangan udara dan laut. Dengan emisi dan pelepasan karbon dioksida dalam skala masif. Sejak masa revolusi industri, manusia sudah menambah 365 miliar ton karbon ke udara. Setiap tahun kita menambah sekitar 9 miliar ton, dan meningkat enam persen lagi pada tahun berikutnya. 

Bila kecenderungan ini terus bertahan, diperkirakan pada 2050 suhu global akan naik dua hingga empat derajat celcius. Sebagian gletser akan mencair, es di Antartika akan lenyap, hingga tenggelamnya kota kota di dataran rendah. 

Namun itu belum seluruh cerita. Elizabeth Korbet juga memaparkan, pelepasan zat emisi dan karbon dalam skala masif juga menyebabkan peningkatan kadar asam dalam lautan, karena lautan menyerap zat karbon, untuk kemudia menetralisirnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun