Mohon tunggu...
gemintang
gemintang Mohon Tunggu... Arsitek - beri aku kertas dan pena, kan kulukis wajah dan kuceritakan kisahnya

mulai saja, sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Biru

21 Oktober 2020   22:11 Diperbarui: 21 Oktober 2020   22:26 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
danilovna.livejournal.com

Aku bergidik, lamat-lamat dari balik gunung lolongan itu manyayat sembilu. Ini hari terakhirku disini, di rumah biru di antara lembah ini. Sewindu sudah, namun rasanya hanya sekejap saja. Tak ikhlas aku mengalah dalam pertempuran.

Di ujung tahun alat berat akan merubuhkannya rata dengan tanah, untuk dibangun kembali menjadi rumah jompo yang bersahaja. Ah, berat sangat rasanya, hati dan jiwaku terlalu melekat erat pada semua rongga dan celahnya, sungguh sarat makna. Kau salah satunya.

Dengan cepat kutarik selimut ungu tutupi rebah, kupaksa kelopak mata menutup rapat, namun lagi-lagi wajahmu yang kudapat.

Angin lembah yang kencang menderu menghempas daun-daun pintu, sementara tangan-tanganku mengemas segala yang harus kukemas. Di perapian pembakaran kayu dan ranting kering pasrah meriah, titik-titik air yang terperangkap mendesis di antara api.

Seisi rumah menghangat seiring harumnya kayu yang lamat-lamat. Aku terkulai, kupandangi setumpuk cendana yang tergolek di atas perapian, itu darimu;

Sore itu kutemukan wajahmu dari balik pintu, dan aku merengkuhmu dalam rindu yang tak kunjung surut. Penelitianmu ke Indonesia Timur membuat kita terpisah setengah tahun, dan kayu cendana itu menjadi buah tangan yang selalu menyejukkan batinku, yang mengharumkan setiap ayunan udara dalam rumah biru, yang serasa membuat sukmaku seiring sejalan denganmu.

Dalam kardus berlabel aku memilah-milah berkas. Beberapa kali hatiku terhibur menemukan tulisan-tulisan lama yang tak sempat kukirim pada perusahaan penerbit, segala yang tertuang di dalamnya adalah momentum saling silangku, dia, mereka, kita, hidup, alam, kau dan hujan. Ah ya, kau dan hujan, lagi..

Kutepis rasa yang berlarian kesana kemari, kulepas nafas ringankan pundakku yang menjadi berat. Dari balik jendela kupandangi langit malam itu, bersih namun gelap, walau bukan kelam, sebab langit mengandung jutaan galaksi yang menyamarkan keajaiban cinta bintang-bintang

Seduhan coklat panas menemani beres-beresku di malam yang panjang. Jasa angkut telah mengosongkan hampir seluruh ruangan. Tinggallah kolase-kolase sakral yang harus dirapihkan dengan seksama. Ah, tak seharusnya aku mengumpulkan banyak memori dalam kertas seperti itu, terlalu banyak hal yang menghanyutkan bahkan menakutkan.

Namun apa daya, mengabadikan cerita adalah bidangku, aku terlalu mencintai profesi ini, walau dalam banyak kesempatan, aku terperangkap sendiri. Bandul jam yang berdentang satu kali menghantar tatap mataku pada amplop putih yang tak kukenal, tanpa pengirim dan masih tersegel, dan anehnya tertuju untukku. Dari siapakah?

Dari teras yang menjorok keluar, aku menyapu pandangku pada langit malam. Sombongnya waktu mengantarku pada pusaran yang tak akan pernah mundur berjalan. Nafas-nafasku ringan walau pandangku buram, bulir-bulir hangat telahpun menggenangi pelupuk mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun