Mohon tunggu...
gemintang
gemintang Mohon Tunggu... Arsitek - beri aku kertas dan pena, kan kulukis wajah dan kuceritakan kisahnya

mulai saja, sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Burung Kecil

21 Oktober 2020   00:46 Diperbarui: 21 Oktober 2020   13:19 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Shoo! Shoo!" manusia itu terjaga, tangannya menggapai-gapai udara. Ia terheran-heran pada kicauan yang tiba-tiba menyerang. Aku menajamkan pandangan, oh, itu si Kuning dan si Hitam!

"Aah!" ia meringis, si Hitam mencakar keningnya. Manusia itu bangkit dalam amarah, ia meraih tongkat dan melayangkannya ke udara.

"Jangan..mereka adalah teman-temanku.." teriakku melompat-lompat.

Tongkat itu tepat sasaran mengenai tubuh si Hitam, ia terperosok masuk ke dalam periuk air. Sedikit lagi saja, ia bisa mati dengan isi kepala yang terburai.

Si Kuning bertengger di kejauhan, lehernya bergerak-gerak mengatur nafas yang memburu. Ia menjaga jarak, waspada pada bahaya yang mungkin akan terulang lagi. Manusia itu menghapus pelipisnya yang luka, aku bisa melihat darah segar menyeruak dari balik kulitnya yang memerah.

Ia berjalan ke arah Tenggara, berdiri berkacak pinggang memandangi hamparan tanah yang menenggak tumpahan air tanpa bekas. Sementara tak jauh dariku, meski masih terhuyung-huyung si Hitam perlahan mulai bangkit berdiri. Ia lalu mendesis, memanggil si Kuning. 

Tak ragu, si Kuning yang mengawasinya mendekat dengan terbang rendah, "hei, minumlah.." bisikku. Kami bertiga saling menatap, ada kelegaan yang tersirat ketika kami bisa bertemu kembali. Kemudian mereka membenamkan separuh tubuhnya dalam genangan kemewahan itu, tak ingin segera mengepakkan sayap dan tak ingin buru-buru kembali tersiksa dalam kekeringan.

"Aku menanam biji pohon di dalam tanah-tanah ini. Hujan sudah semakin jarang, maka aku mengairinya sendiri. Air dalam gentong-gentong ini kuambil dari aliran sungai yang semakin kering di samping rumah." lelaki itu mendekat dan bergumam. 

Ia meyakini dirinya bahwa kami mendengar dan memahami, ia ingin kami tahu bahwa kami akan tetap hidup. Meski harus sabar menunggu. Yah, setidaknya ia memberi harapan sebelum kami mendapati diri kami tak lama lagi mungkin mati terpanggang kaku.

---

Meski sinar matahari tak lagi membakar, tiga pekan kemudian hujan yang dinantikan belum juga turun. Pangeranku tak lagi tinggal di rumahnya, sepertinya ia memilih kembali ke Utara yang lebih dingin. Sementara bagi kami bertiga kembali ke Utara yang jauh itu sama saja bunuh diri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun