Mohon tunggu...
gemintang
gemintang Mohon Tunggu... Arsitek - beri aku kertas dan pena, kan kulukis wajah dan kuceritakan kisahnya

mulai saja, sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Burung Kecil

21 Oktober 2020   00:46 Diperbarui: 21 Oktober 2020   13:19 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Oh, bodohnya aku! Aku letih, tak menemukan pohon untuk beristirahat, aku tidur dan melayang-layang dalam mimpi dimakan Gagak. Tiba-tiba aku terjerembab dan menemukanmu.." adunya. Aku tertegun, kupandangi sayap hitamnya, lunglai sudah, untung saja tak patah.

"Kau memang bodoh, tidurlah!" usulku.

---

Aku terbangun karena lapar. Dan secara ajaib tiga biji cermai ranum terhidang di depan kakiku yang kurus. Mungkin benar aku sudah mati, dan aku terpilih berada di surga. Rakus aku melahap cermai-cermai itu. Warnanya merah pekat, manis dan asin, setiap gigitanku berbunyi krauk-krauk, ..Oh ibu induk.. aku kenyang!

"Dua cermai itu untukku dan untuknya! Kau hanya boleh makan satu, bagaimana mungkin kau bisa setega ini!" sebuah suara meneriakiku dari jauh. Cepat kutolehkan pandangku pada arah suara, seekor burung kurus berbulu kuning sedang terbang rendah ke arahku, takut cengkramannya menerjang wajah tirusku, aku berlari sekuat tenaga, ingin terbang tetapi tulang sayapku masih terlalu lelah. Ah, aku belum mati rupanya!

Hoop! Ekorku dicengkram, aku meronta melepaskan diri. Namun tiga cermai belum cukup pulihkan tenaga dan aku menyerah.

"Makanlah aku, makanlah.." aku pasrah.

"Hah!" ia mengibaskan lengan sayapnya "Kau egois! Bagaimana kami bisa bertahan di musim lapar ini?" ia bertolak pinggang, menatapku tajam.

"Kalau saja aku tahu, pasti tak kusentuh cermai-cermai itu.." belaku.

Dan senyap. Aku bergetar dalam rasa bersalah. Ingin rasanya memuntahkan cermai-cermai itu dan menyusunnya kembali utuh. Tak berani kupandang kedatangan burung hitam yang menemani tidurku tadi malam. Gontai langkahnya mendekatiku, "Maaf" lanjutku.

"Kami harus makan, apa yang bisa kau lakukan?" tanyanya lembut tanpa menghakimi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun