Apakah kesepian, kegagalan, dan kemiskinan menjadikan kita berhak untuk menjadi brutal, menyulut kekacauan, dan membunuh orang lain?
Dengan gamblang dan serta merta, sutradara Todd Phillips menggambarkan tokoh Arthur Fleck alias Joker sebagai laki-laki dengan penyakit mental yang gagal, kesepian, dan hari demi hari menabung kemarahan demi kemarahan terhadap orang-orang, lingkungan, dan dirinya sendiri.Â
Film Joker sedikit banyak membujuk kita untuk melihat dunia dari sisi si orang kalah yang tak punya apa-apa lagi selain kemarahan. Dan, dengan demikian, memaklumi dan menerima bahwa pilihan untuk melakukan kekerasan, pembunuhan, dan berbuat onar adalah suatu pilihan yang wajar dan tidak terelakkan.
Dari tulisan-tulisan seputar film ini, saya menangkap banyak keberpihakan semacam itu. Bahkan menyebut Joker sebagai pahlawan. Apakah harusnya memang demikian? Nanti dulu.
Hatta, diceritakan bahwa Arthur adalah seorang anak yang dibesarkan oleh ibu single parent yang delusional, narsisistik, dan abusive. Begitu saja.
Sutradara dan penulis naskah rupanya tidak mau repot-repot memberikan latar belakang yang rumit terhadap berbenih dan tumbuhnya kegilaan di dalam diri anak yang kelak tumbuh menjadi Joker sang biang keladi kekacauan di kota Gotham, kota dengan banyak masalah yang membuat warganya jauh dari kata bahagia ini.
Untungnya kita tinggal di Jakarta, ya, kota yang permai, makmur, dan sentosa. Kota indah yang berbeda jauh kondisinya dengan Gotham. Kalau di negeri kita, tentu anak malang seperti Arthur akan dirawat oleh orang-orang baik dan beriman, pemerintah akan turun tangan memberikan pengayoman dan jaminan pendidikan, masa depan si anak malang niscaya terselamatkan.
Namun, sayangnya, Arthur Fleck tinggal di kota Gotham yang penduduknya tidak beriman, tidak ada yang peduli bahkan untuk sekadar mengingatkan.
Fasilitas dan petugas sosialnya buruk, tidak mampu mendengarkan masalah apalagi memberikan pertolongan. Maka, jadilah, Arthur tumbuh menjadi laki-laki berpenyakit jiwa yang terpinggirkan, korban perundungan, tanpa teman, miskin, dan tidak bahagia.
Seperti dalam lakon-lakon tragedi lainnya, tentu penderitaan Arthur tidak sampai di situ saja. Sutradara dan penulis naskah merasa butuh untuk lebih jauh menyengsarakan sang tokoh.
Arthur terus menerus ditekan dengan segala bentuk kebengisan hidup sehari-hari, dalam pekerjaan, dalam pertemanan, di rumah, di ruang publik.