Mohon tunggu...
Gelar S. Ramdhani
Gelar S. Ramdhani Mohon Tunggu... Penulis -

Mari berkunjung ke website pribadi saya www.gelarsramdhani.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pasien Melawan Dokter

20 Maret 2013   22:11 Diperbarui: 9 Agustus 2018   14:39 1399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Oleh: Gelar S. Ramdhani*

Menarik sekali memperhatikan opini masyarakat akhir-akhir ini, seputar dunia kesehatan. Bermula dari adanya dugaan masyarakat tentang adanya rumah sakit yang menelantarkan pasien miskin, beberapa bulan lalu, akan tetapi rumah sakit membantahnya, dan menyatakan pelayanan yang diberikan sudah sesuai prosedur dan peraturan yang berlaku, kemudian berita tersebut menjadi semakin hangat, hingga pada akhirnya hal tersebut berevolusi menjadi "raksasa" opini publik yang semakin hari semakin hangat diperbincangkan.

Bahasa media (jurnalis) yang sering menuangkan isu tersebut sebagai "penelantaran pasien" atau lebih ekstrimnya disebut "malpraktik" membuat masyarakat terutama yang secara subyektif merasa dirinya atau keluarganya, pernah dirugikan oleh tindakan atau pelayanan medis, dengan adanya pemberitaan ini yang cukup masif merasa mendapatkan dukungan moral untuk ikut menghujat pelayanan medis.

Pembicaraan benang kusut praktik kedokteran (pelayanan medis) saat ini menjadi topik utama yang cukup hangat diperbincangkan, dari mulai obrolan ala warung kopi, hingga obrolan anak-anak muda di jejaring sosial.

Siapa yang salah?

Prahara pelayanan medis, erat kaitannya antara hubungan pasien dan dokter atau dokter gigi. Ketika dulu dokter atau dokter gigi dimata pasien dianggap sebagai "dewa" dan pada umumnya masyarakat merasa segan terhadap dokter atau dokter gigi, hingga apapun yang dikatakan dokter atau dokter gigi dianggap sebagai firman Tuhan. Akan tetapi saat ini pada era keterbukaan, sang dokter atau dokter gigi dituntut untuk lebih profesional dan bijaksana memberikan pelayanan kepada sang pasien, sedikit saja kesalahan dimata pasien, meskipun secara prosedur benar, pasien bisa berani menuntut dokter atau dokter gigi!

Menuntut keadilan atas tidak puasnya pelayanan yang diterima merupakan suatu hak pasien sebagai warga negara, akan tetapi yang perlu kita ketahui bersama bahwa Praktik Kedokteran atau Kedokteran Gigi bukan merupakan suatu ilmu pastiyang berarti setiap tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter atau dokter gigi dengan segenap ilmu dan keterampilannya hanya berupaya tentunya dengan standar prosedur serta standar kompetensi yang berlaku, kemudian yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu tindakan adalah Tuhan yang Maha Kuasa.

Selain itu menurut UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat 1 menerangkan bahwa "Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan" kemudian dalam ayat 5 tercantum "Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan"

Saya ulangi kembali bahwa dalam praktik kedokteran atau kedokteran gigi tidak pernah menjanjikan kesembuhan, hanya berusaha sepenuh hati dengan prosedur yang berlaku untuk mencapai kesembuhan. Kemudian setiap tindakan yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi menurut Undang-undang harus dengan persetujuan pasien, jadi ketika dokter atau dokter gigi melakukan tindakan prinsipnya pasien telah menyetujui. Paling penting yang perlu diingat pasien menurut Undang-undang praktik kedokteran ialah persetujuan tindakan bukan sebatas setuju atau tidak dilakukan tindakan melainkan pasien menyetujui pula hal-hal lainnya yang berkaitan dengan tindakan yang diberikan. Seperti halnya diagnosis, tujuan tindakan, alternatif tindakan, resiko tindakan, dan prognosis (Baca UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 45 ayat 3)

Saya terkadang heran mengapa ketika ada suatu pengobatan tertentu, yang boleh dikatakan sangat berani menjanikan kesembuhan bahkan sampai berani pula menentukan tenggang waktu kesembuhan. Lalu pada kenyataannya sang pasien tidak mendapatkan kesembuhan seperti yang dijanjikan bahkan boleh dikatakan tambah parah, saya belum pernah mendengar di media sang pasien menuntut pengobatan tersebut? Tapi kenapa praktik kedokteran atau kedokteran gigi yang jelas-jelas dilakukan secara obyektif berdasarkan teori yang teruji, dan tanpa menjanjikan apapun hanya upaya, ketika ada kesalahan kecil saja masyarakat ramai bergunjing? Pendapat saya ini mungkin terkesan subyektif, tapi tidak apa-apa karena ini merupakan suatu pencerdasan bagi kita semua.

Tulisan ini bukan untuk menghakimi siapa yang salah siapa yang benar, saya pribadi juga tidak menutup mata dan tidak menutup telinga ada saja memang dokter atau dokter gigi yang memberikan pelayanan tidak sesuai aturan, atau tidak memuaskan pasien. Tapi saya mohon masyarakat tidak memberikan judge secara umum, dan masyarakat tidak perlu khawatir dengan semua ini karena pemerintah dalam mewujudkan kedisiplinan dalam praktik kedokteran atau kedokteran gigi, sudah mempunyai lembaga khususnya secara resmi yaitu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), masyarakat juga tidak pelu memandang lembaga ini akan subyektif terhadap dokter atau dokter gigi ketika ada sengketa, karena anggota dari lembaga ini juga terdiri dari berbagai unsur, diluar unsur kedokteran atau kedokteran gigi. Informasi lebih lanjut seputar MKDKI bisa memngirimkan email ke mkdki@inamc.or.id atau buka website www.kki.go.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun