Mohon tunggu...
Gek Wulan Permatasari
Gek Wulan Permatasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Kedokteran Gigi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konten Pelihara Satwa Liar: Edukasi atau Eksploitasi?

5 Juli 2022   09:52 Diperbarui: 5 Juli 2022   09:54 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, sedang ramai dibicarakan mengenai konten influencer yang memelihara satwa liar. Satwa liar yang dipelihara pun beragam, mulai dari harimau hingga primata seperti monyet dan beruk. Penikmat dari konten itu pun juga tidak sedikit, bahkan konten yang mereka klaim sebagai konten edukasi tersebut memicu munculnya tren memelihara satwa liar di masyarakat. Mengenai hal tersebut, banyak aktivis yang sudah menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap konten memelihara satwa liar. Para aktivis juga tidak setuju dengan penyebutan konten memelihara satwa liar tersebut dengan sebutan konten edukasi. Mereka menganggap konten tersebut merupakan sebuah aksi eksploitasi.

Pertanyaan pertama yang muncul saat melihat seseorang memelihara satwa liar adalah dari mana mereka mendapatkan satwa tersebut? Salah satu contoh satwa liar yang sering dijadikan konten adalah primata. Primata yang dipelihara pun juga berbagai macam, seperti macaca atau sering disebut monpai, beruk, owa, siamang, hingga kukang. Primata-primata tersebut merupakan satwa liar, walaupun ada yang bukan termasuk satwa liar yang dilindungi. Influencer yang membuat konten memelihara primata banyak yang mengatakan bahwa mereka mendapatkan satwa tersebut dari penangkaran. Namun, nyatanya penangkaran satwa liar, khususnya primata, biasanya digunakan untuk kebutuhan penelitian bukan diambil untuk diperjualbelikan. Maka, sangat masuk akal bahwa primata yang dipelihara mereka itu merupakan pembelian hasil perburuan di alam bebas bukan dari penangkaran.

Hal serupa juga berlaku untuk satwa liar lainnya yang diambil untuk dipelihara. Walaupun klaim dari si pembuat konten bahwa mereka mendapatkan satwa tersebut secara legal, tetapi nyatanya tidak ada konservasi atau penangkaran yang menjual bayi satwa liar, bahkan penangkaran biasanya butuh ratusan satwa untuk mendapatkan beberapa bayi. Pengambilan satwa liar dari habitatnya untuk dipelihara tentu sudah menyalahi aturan yang ada. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru menyebutkan bahwa satwa buru pada dasarnya adalah satwa liar yang tidak dilindungi dan perburuan dilakukan berdasarkan asas kelestarian manfaat dengan memperhatikan populasi, daya dukung habitat, dan keseimbangan ekosistem. Seperti contoh yang sudah disebutkan sebelumnya, macaca atau monpai merupakan salah satu satwa liar yang tidak dilindungi yang sering diperjualbelikan untuk dipelihara, tetapi monpai memiliki batas kuota pemanfaatan setiap tahunnya yaitu 20.000 ekor yang ditentukan BKSDA. Jadi, perdagangan monpai bebas dan berlebihan tentu dapat mengganggu ekosistem yang ada. Terlebih lagi biasanya satwa liar yang diperjualbelikan biasanya masih bayi, sehingga mereka harus diambil paksa dari induknya yang dapat mengakibatkan menurunnya kesempatan bertahan hidup mereka.

Permasalahan memelihara satwa liar tidak hanya sampai disitu saja. Untuk memelihara satwa liar yang mana sifat asli mereka adalah liar, tentu si pemelihara akan membuat satwa tersebut "ramah" untuk lingkungan tempat memeliharanya. Sebagai contoh, tidak sedikit primata yang dipelihara gigi taringnya akan dipotong atau dikikir bahkan dicabut agar tidak melukai orang. Selain itu, satwa liar yang dipelihara tentunya akan dilatih agar terbiasa dengan manusia di sekitarnya. Hal tersebut dapat mengganggu insting atau naluri asli mereka sebagai hewan liar dan tentunya melanggar salah satu hak dasar hewan yaitu bebas berekspresi sesuai tingkah laku alami mereka. Banyak kasus yang telah terjadi disaat satwa liar yang dipelihara malah melukai orang-orang di sekitarnya sehingga satwa tersebut terpaksa dirantai, dikurung, bahkan dibunuh. Jika hal tersebut sudah terjadi, lantas siapa yang patut disalahkan?

Konten memelihara satwa liar yang diklaim sebagai konten edukasi nyatanya memberikan informasi yang salah kepada masyarakat. Walaupun pembuat konten mengaku telah mendapat izin hingga melakukan prosedur yang sesuai, tetapi efek domino yang ditimbulkan di masyarakat tidak bisa mereka kontrol. Banyak sekali dampak yang dapat ditimbulkan dari memelihara satwa liar, seperti terganggunya ekosistem, adanya potensi satwa menularkan penyakit kepada manusia dan sebaliknya, naluri mereka sebagai satwa liar masih ada sehingga sewaktu-waktu dapat menyerang orang-orang di sekitarnya, hingga penyiksaan kepada satwa liar dikarenakan ketidaktahuan dan kelalaian si pemelihara dalam menangani satwa yang dapat menyebabkan satwa mati. Edukasi mengenai satwa liar seharusnya memperlihatkan bagaimana satwa tersebut hidup di habitat aslinya, bukan hidup sebagai hewan peliharaan yang bermain-main dengan manusia. Pemerintah juga sebaiknya mengeluarkan regulasi terbaru mengenai pemeliharaan dan perdagangan satwa liar beserta peningkatan penegakan regulasi tersebut.

 (Didin Wahyu Utomo, Suprapto and Nurul Hidayat, 2017)
Didin Wahyu Utomo, Suprapto and Nurul Hidayat (2017) 'Pemodelan Sistem Pakar Diagnosis Penyakit pada Sistem Endokrin Manusia dengan Metode Dempster-Shafer', Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer, 1(9), pp. 893--903.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun