Mohon tunggu...
geger gendroyono
geger gendroyono Mohon Tunggu... -

orang biasa yang mencoba hidup biasa-biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sarik[i]

30 Oktober 2011   04:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:17 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita dari Pesantren

Hampir satu jam aku duduk gelisah di depan pintu kantor keamanan. Menunggu giliran diintrogasi. Ada rasa deg degan, meskipun jelas-jelas aku tidak mungkin terbukti bersalah. Dan, karena itu aku tidak seharusnya grogi, apalagi gentar. Kubilang pada diriku sendiri untuk tenang. Dan berusaha menganggap ini hanya latihan. Bukan satu dua kali terjadi pencurian di pesantren ini. Tapi kasus kali ini berbeda. Pertama, karena korbannya adalah Gus Rozikin, putra kiai terkenal dari jawa tengah. Kedua, sebab melibatkan aku sebagai salah seorang tersangka.

“Kau tak punya saksi!” kudengar bentakan dari dalam kamar. Suaranya keras dan menggelegar. Itu jelas suara Kang Jabir. Kepala keamanan pondok yang dari melihat mukanya saja orang jadi punya alasan untuk membenci.

“Apa buktinya jika aku mencuri?” terdengar juga bantahan yang tidak kalah sengit. Itu suara Ropik, kawan satu kamarku. Begitulah sifatnya, keras kepala dan mudah emosi. Sebenarnya sekedar menyanggah saja cukup. Karena dalam ruangan itu berteriak bisa berarti menantang.

Menyusul kemudian suara “Bug, gedabug, bug, bug…!” tidak jelas ini suara apa. Tapi dari kedengarannya seperti suara rotan yang beradu dengan sesuatu. Bisa orang, bisa juga bantal. Tidak kudengar Ropik mengaduh selepas bunyi-bunyian itu. artinya, bisa jadi suara-suara itu sengaja dibuat untuk menakut-nakuti aku. Teknik standar untuk meruntuhkan mental terdakwa sebelum sidang.

Ini pertama kalinya aku mendapat panggilan masuk kantor keamanan. Dan tidak tanggung-tanggung, kasusnya adalah pencurian. Termasuk jenis pelanggaran berat yang sangsinya maksimal dikeluarkan secara tidak hormat. Dan, setelah terlebih dulu diarak keliling komplek dalam keadaan botak dan basah kuyub diguyur air comberan.

Keamanan merasa perlu mengerahkan segenap sumberdaya mereka untuk memecahkan kasus ini, minimal mengetahui pelakunya, sebab gus rozikin bukan santri biasa. Dan karena itu perlakuan terhadapnya tidak bisa disamakan dengan santri kebanyakan. Konon, dia kerap mengadu kepada Abahnya, tidak kerasan tinggal di pesantren. Dan bisa jadi karena musibah yang dialaminya kemaren, ia jadi punya alasan kuat yang bisa diajukan kepada Abahnya untuk boyongan[ii]. Sedangkan jauh-jauh hari Kang Jabir selaku kepala keamanan pondok, secara pribadi, telah dipesan oleh Kiai untuk menjaga agar putra sahabatnya itu tetap kerasan di pondok.

Logika keamanan, pencurian itu terjadi pada malam jumat, antara pukul Sembilan sampai setengah sepuluh. Kebetulan kamar gus rozikin tepat besebelahan dengan pos keamanan. Dan jeda setengah jam itulah yang paling mungkin digunakan oleh pelaku. Karena saat itu pos dibiarkan kosong tak terjaga. Pada malam Jumat seluruh santri tengah berada di musholla, mengikuti pembacaan mauled ad dihiba’i. yaitu salah satu kegiatan wajib pesantren kami yang harus diikuti semua santri, dan karena itu pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh keamanan. Tidak ada santri yang boleh berkeliaran di luar musholla, kecuali mereka yang sedang mendapat piket kebersihan, atau yang berhalangan syar’i.

Pelaku pencurian itu diperkirakan orang dalam komplek sendiri, terutama yang dekat dengan korban. Sebab, menurut pengakuan gus rozikin, dia selalu menyimpan uangnya dengan hati-hati dan di tempat yang sangat tersembunyi.

Dari sana mereka menjaring tersangka. Dan semua itu mengarah kepada kami. Kang Ropik, Kang Nasir dan aku. Malam itu aku tinggal di kamar karena gigiku sakit, tidak tahan mendengar suara keras. Sementara Kang Nasir dan Kang Ropik mendapat jatah piket kebersihan kamar mandi lantai satu dan dua. Karena bekerja di tempat yang berbeda, masing-masing mereka tidak punya alibi untuk menolak tuduhan itu.

Kami sebenarnya dalam keadaan terpojok. Segala indikasi mengarah tepat ke muka kami. Sebab, kami jugalah selama ini yang dipandang cukup dekat dengan Gus Rozikin. Sudah mashur bahwa anak itu tidak bisa sembarangan bergaul dengan orang. Hanya orang-orang tertentu, yang bisa mengambil hatinya, yang akrab dengannya. Tapi keamanan tidak mungkin menemukan barang bukti. Karena, meskipun dilakukan penggeledahan dan ditemukan uang dalam jumlah yang sama, Gus Rozikin tetap tidak akan bisa mengenali uangnya. Satu-satunya cara adalah membuat salah satu dari kami mengakui perbuatan itu.

$$$

Akhirnya pintu kantor terbuka. Keluarlah Kang Ropik dengan muka merah padam dan bersungut. Tangannya mengepal, dan seperti mencari tempat pendaratan yang empuk di muka seseorang. Kami sempat berpandangan. Ada nyala merah berkobar-kobar di matanya. Seperti menyiratkan sebuah ajakan: “ayo kita bakar tempat ini!”

“Ayo, giliranmu!” bentak salah seorang keamanan yang kemudian muncul di belakang Kang Ropik.

Tinggal aku sendiri. Kang Nasir mendapat giliran pertama kali. Dan tadi juga kulihat ekspresi wajahnya tak jauh berbeda seperti Kang Ropik. Hanya saja sedikit bisa tersamarkan oleh pembawaan mukanya yang kalem dan sumeh.

Di dalam, perlakuan keamanan padaku sedikit lunak. Barangkali karena mereka melihat aku begitu tenang, dan menjawab setiap pertanyaan, yang dilontarkan dalam nada menuduh dan sengit, dengan kalimat yang jernih tanpa emosi. Tidak sampai setengah jam, aku sudah boleh keluar. Tentunya setelah disuruh menunjukkan surat keterangan dari dokter bahwa hari itu aku sedang sakit gigi dan disarankan beristirahat. Untungnya surat itu selalu kubawa dalam dompetku.

Aku yakin sekali bahwa keamanan tidak mendapat kesimpulan apapun dari rangkaian introgasi itu. Mereka, setahuku, tidak memiliki kemampuan untuk membaca isi hati dari gerak wajah atau keterampilan psikologis lainnya. Mereka juga belum punya alat canggih untuk mendeteksi kebohongan.

Tapi mereka masih punya senjata andalan yang kerap disebut air kejujuran. Konon, air itu telah diberi jampi, dan jika diminumkan pada seseorang, efeknya bisa mendeteksi tingkat kejujurannya. Air itu tidak akan bereaksi jika yang minum adalah orang baik-baik. Tapi jika pelaku meminumnya maka ia akan sakit perut, dan tidak bakalan sembuh sebelum ia mengakui perbuatannya.

“Ayo, minum!” bentak Kang Jabir ketika kami kembali dikumpulkan di kantor keamanan, selang sehari setelah introgasi.

Sekilas melihat gelas itu hanya berisi air putih biasa. Tidak tercium bau minyak misik atau aroma lain yang lazim terdapat pada benda-benda mistis. Cuma agak sedikit keruh, barangkali karena tersimpan lama di dalam botol. Sebentar aku agak ragu. Tapi kuambil juga gelas itu, dan meminumnya hingga tandas. Tadi Kang Ropik dan Kang Nasir juga sudah melakukannya.

Satu menit kemudian. Satu jam. Satu hari. Satu minggu. Tidak ada reaksi apapun. Tidak juga pada kedua rekanku. Mereka terlihat biasa-biasa saja sejauh ini. Maka setelah itu kami diputus bebas. Dan kasus pencurian itu tetap tidak terpecahkan.

Tapi setelah aku piker masalah itu sudah selesai, seminggu kemudian tiba-tiba saja kudengar Kang Ropik membuat pengakuan bahwa dialah pencuri uang Gus Rozikin. Dia datang sendiri ke kantor keamanan, menceritakan semuanya dengan rinci. Akibatnya, ia menjadi bulan-bulanan oknum keamanan. Pada sore hari ketika aku menemuinya, kulihat memar-memar biru hamper merata di sekujur wajahnya. Ia terikat pada sebuah tiang di depan kantor induk keamanan. Sebuah papan terkalung di lehernya bertuliskan kata “Sarik”. Bahasa arab yang artinya pencuri.

“Masalah ini seharusnya sudah selesai,” aku berbisik kepadanya.

Dia melihatku dengan pandangan sendu, dan sekaligus mantap. Tidak tampak lagi sosok Kang Ropik yang garang dank eras kepala seperti biasanya. “Aku bisa bohong pada semua orang. Tapi, pada Allah, pada kiai aku tak berani.”

“Ini soalku dengan Gus Rozikin saja. Kapan-kapan uang itu bisa diganti dan minta maaf. Hukuman ini terlalu berat.”

“Maafkan aku, Kawan. Hanya ini bantuan yang bisa kuberikan.”

“Kita sudah pernah bicara soal ini. Dan aku tidak pernah mau kau terlibat.”

“Jangan salahkan dirimu. Aku iklas. Kau butuh uang itu untuk berobat Bapakmu.”

Begitulah aku melepas kepergian teman baikku. Hamper saja aku tidak kuasa menahan rembesan air di sudut-sudut mata. Hamper lima tahun kami berteman. Melakukan banyak hal bersama-sama. Dalam susah maupun senang. Ketika lapar maupung kenyang. Kang Ropik, Dia sahabat sejati. Orang yang bisa diandalkan, dan terlalu lugu.

Saat kembali ke komplek Gus Rozikin sudah menantiku di depan kamarnya.

“Mas Bro! ada sms masuk di hapemu.” Dia nyaris berteriak girang.

Aku meletakkan telunjuk tegak lurus di bibir, sebagai isyarat agar ia sedikit memelankan suaranya. Lalu segera masuk ke kamar istimewa itu.

“Dari pacarmu!” kali ini anak itu bahkan tertawa menggoda.

Memang dari Ayu, pacarku.

Mkcih, Cin. BB dari km, kren bgt..!” [iii]

[i] pencuri

[ii]Keluar dari pondok

[iii]“Makasih, Cin. BB (Blackbarry) dari kamu keren banget”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun