Mohon tunggu...
Gede Dandy Krisnaya
Gede Dandy Krisnaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Dandy

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan bagi Umat Hindu di Bali

18 Juni 2022   19:27 Diperbarui: 18 Juni 2022   19:30 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kisah Hari Raya Galungan erat kaitannya dengan mitologi Hindu Bali. Ritual ini pertama kali dirayakan pada tahun 882 M dan telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pada masa pemerintahan Raja Srijayakasnu, perayaan Galungan kembali digelar. Hari Raya Galungan diperingati setiap enam bulan sekali dalam penanggalan Pawukon. Sejarah dan prosesi hari raya ini sangat penting bagi masyarakat Hindu di pulau dewata. Dalam penanggalan Pawukon, satu bulan terdiri dari 35 hari. Galungan akan jatuh ke Kuriwon pada hari Rabu. Istilah khusus  hari itu adalah Kuliwon Dunglan Buddha atau hari rabu kliwon dengan wuku dungulan, ini berarti hari ketika Dharma (kebenaran) mengalahkan Adharma (kejahatan).
Fred B. AIDSman Jr. dari Barisekara dan Niskara: Sebuah esai tentang agama, ritual, dan seni (1989) menunjukkan bahwa Galungan menandai awal dari upacara keagamaan yang paling penting. Orang Bali percaya bahwa arwah leluhur mereka akan kembali ke rumah pada hari ini, dan sudah menjadi kewajiban  mereka untuk menyambut mereka dengan doa dan persembahan. Serangkaian prosesi upacara mewarnai perayaan Galungan. Orang Bali yang mayoritas beragama Hindu selalu melakukannya dengan penuh semangat dan bersyukur.
Sejarah Hari Raya Galungan  erat kaitannya dengan mitologi Hindu Bali. Dikutip dari situs resmi Desa Sanghe, yang sesuai dengan catatan dalam naskah Purana Dwipa  di Bali, Galungan pertama kali dirayakan pada malam bulan purnama pada tahun saka 804 atau 882 Masehi. Namun ritual perayaan ini telah terhenti selama bertahun-tahun. Akibatnya, banyak raja-raja yang memerintah Bali saat itu meninggal di  usia muda. Saat itu, pulau dewata juga terus-menerus diguncang berbagai musibah, sebagaimana tertuang dalam Rontal Sri Jayakasunu. Akhirnya pada masa pemerintahan Raja Srijayakasunu, perayaan Galungan kembali digelar. Pada awalnya, raja bertanya-tanya mengapa mantan raja berumur pendek dan mengapa bencana sering melanda Bali. Raja Srijayakasunu juga bersemedi. Di pertapaannya, ia menerima bisikan yang diyakini berasal dari dewi Durga. Ide ini memunculkan berbagai alasan aneh yang terjadi selama ini. Dengan kata lain, masyarakat Bali  melupakan peringatan Galungan. Atas perintah Raja Sri Jayakasunu, perayaan Galungan kembali dihidupkan, dan terus diadakan secara turun-temurun hingga saat ini. Meskipun bagi sebagian orang sejarah Hari Raya Galungan barangkali dianggap kurang bisa dilogika, umat rakyat Hindu-Bali sangat mempercayainya.
Secara mitologi, Malayana, menulis bahwa dulu ada raja yang marah bernama Mayadenawa di Bali. Raja yang sangat sakti ini sering melakukan dharma dan kejahatan. Merasa dirinya yang paling suci, Mayadenawa memerintahkan rakyatnya untuk memujanya. Pemujaan para dewa dilarang, dan bahkan banyak pura dan tempat pemujaan dihancurkan oleh perintah para lalim. Perbuatan Mayadenawa yang melewati batas membuat warga resah. Hingga akhirnya, seorang pemuka agama  bernama Mpu Sangkul Putih yang juga merupakan pemangku utama Pura Agung Besakih bersemedi untuk memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa. MpuSangkul Putih akhirnya terinspirasi. Ia diperintahkan untuk pergi ke Jawa Dwipa atau India untuk meminta bantuan. Mpu Sangkul Putih menerapkan ide yang dimilikinya dan akhirnya mendapat bantuan. Menurut mitologi, bantuan itu datang dari Indra, dewa  cuaca. Singkat cerita, terjadilah pertempuran hebat antara Mayadenawa dengan pasukan Dewa inndra. Pasukan Mayadenawa kewalahan. Raja yang kejam telah melakukan beberapa  tindakan yang tidak dapat dikendalikan. Namun, Mayadenawa tetap  kalah. Mitologi ini menjadi dasar perayaan Galungan bahwa Dharma atau kebaikan dapat mengalahkan Dharma, juga dikenal sebagai kejahatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun