Mohon tunggu...
Rizky Fachlevi
Rizky Fachlevi Mohon Tunggu... Seniman - Buruh Seni

Mahasiswa seni

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Vespa dan Fanatisme Politik

1 Juni 2019   01:32 Diperbarui: 1 Juni 2019   01:43 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini saya turut melakukan perjalanan, untuk pergi meninggalkan aktivitas, seperti yang dilakukan kebanyakan orang, untuk menyambut Idul Fitri.

Meski kepergian saya bukan menuju ke hangatnya dinding rumah atau ramahnya udara di kampung halaman,  setidaknya saya bisa jauh-jauh (sementara) dari kehidupan kampus yang penuh sesak oleh kemunafikan.

Dengan mengendarai Vespa kesayangan, yang sering saya sebut barang antik, meski sebenarnya lebih terlihat butut, saya berjalan dengan penuh semangat.

Keberanian saya untuk menaklukkan medan yang berliku dan penuh kegelapan, dengan menggunakan barang tua, bagi saya merupakan sebuah keberanian yang tak bisa dilakukan orang banyak.

Keberanian yang saya miliki bukan tanpa dasar. Slogan "Satu Vespa Sejuta Saudara" menjadi modal untuk memulai keberanian tersebut.

Saya yakin kalau-kalau ada sesuatu musibah atau kendala yang menimpa diri saya di jalanan, pasti akan banyak yang berhenti untuk memberikan bantuan, setidaknya harapan itu saya letakan kepada sesama para scoterist (sebutan para pengendara vespa).

Namum belum lama berjalan mengendarai merk scooter kenamaan asal Italy itu, saya berhenti di sebuah rumah makan, untuk menyantap makan sahur. Di dalam rumah makan tersebut, ada sebuah televisi yang menayangkan pemberitaan mengenai gugatan pasangan calon presiden nomor urut 2, Prabowo-Sandi, pasca pemilu serentak 17-April-2019 lalu.

Melihat pemberitaan tersebut, saya langsung kehilangan selera makan saya, bukan karena pilihan politik saya pada salah satu calon,  melainkan ucapan dalam hati saya, yang langsung berkata "Sial, pemilu belum usai".

Sambil menunggu azan subuh berkumandang , saya menyempatkan untuk menjelajah sosial media, dan ya isi timeline saya penuh dengan seteru antar kedua kubu.

Yang paling mengejutkan iya lah, ketika saya mendapati sebuah foto yang menampilkan gambar surag gugatan dari tim hukum Prabowo-Sandi. Dalam surat gugatan tersebut, berisi 7 poin yang menjadi tuntutan tim hukum Prabowo-Sandi.  

Melihat hal itu saya merasa semakin jengah dan dalam hati saya berkata lagi "ya sepertinya perang antara para Cebong dan Kampret, selain bagian dari sejarah fanatisme politik, juga bagian dari kehidupan bernegara, setidaknya lima tahun lagi.

Fanatisme politik seperti hal di atas, telah banyak menjerumuskan bangsa Indonesia ke dalam perpecahan. Salah satu kasus yang mehebohkan negeri ini ialah, ketika mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (AHOK) didakwa atas kasus penistaan agama.

Kasus yang membawanya menuju jeruji besi itu, bagi saya pribadi, tidak lain dan tidak bukan merupakan bentuk fanatisme politik, dikala kontestasi politik pada pilgub DKI Jakarta.  

Ia didemo berkali-kali oleh masa aksi, yang bagi saya juga kepentingannya politis, terlepas dari pembuktian bersalah atau tidaknya yang bersangkutan.

Sampai mencuat sebuah kasus yang mengejutkan, ketika seorang nenek yang jenazahnya ditolak untuk disholatkan, karena memilih  Ahok pada pilgub DKI Jakarta.

Hal ini tentunya sangat mengejutkan masyarakat banyak, mengingat dalam hal ini hak-hak yang sifatnya spiritual dan sangat prinsipil ini, juga disangkut pautkan dalam urusan politik.  

Dari penjabaran di atas,  sebagai seorang yang skeptis dalam urusan apapun, saya kembali merenung dan bertanya-tanya, akankah saudara-saudara saya sesama bikers vespa, juga telah ter-hegemoni oleh politik hari ini.  

Manakala saya berkendara dan mendapati suatu kendala di jalanan, akan ada saudara saya yang berhenti dan berniat menolong, lalu menanyakan terlebih dahulu pilihan politik saya, dan kemungkinan tidak ditolong ketika dia mendapatkan jawaban saya.

Ya hal ini memang sangat jauh dan terkesan disangkut pautkan,  namun kembali lagi, melihat serangkaian kasus yang terjadi dan kasus dari seorang nenek, yang jenazahnya ditolak untuk disholatkan, karena pilihan politiknya. Tentunya kemungkinan tersebut pasti ada. Mengingat hak-hak individu sebagai warga negara, sudah dipengaruhi oleh kondisi politik.

Ketika saya hendak kembali melanjutkan perjalanan, saya jadi berfikir kembali, akankah saya bisa menaklukkan panasnya aspal dalam dinginnya suhu pagi hari.  

Namun jiwa saya langsung membantah perasaan saya,  perjalanan sudah dilakukan dan harus diselesaikan. Kembali pulang berarti menyerah pada ketakutan. Maka saya putuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Dengan ada atau tidaknya kemungkinan mendapat bantuan di jalanan. 

Roda kendaraan berputar memecah keheningan jalanan,  kepulan asap dari kenalpot menandai jauhnya perjalanan. Melewati jalanan yang diapit kebun dan hutan,  lalu perkampungan, dan padatnya lalu lintas perkotaan.

Sampailah sebuah sirine berkumandang, yang membuat kegembiraan dalam hati saya. Setelah melewati perjalanan panjang dan tak ada kendala berarti dijalanan, akhirnya terbayar lunas dengan kumandang azan. 

Saya berhenti di sebuah toko kelontong, dari sana saya dilayani oleh seorang pemuda yang kira-kira seumuran dengan saya. Dia tampak ramah dengan menanyai perjalanan saya menggunakan vespa.

Sebagai seorang pejalan yang mempunyai akomodasi pas-pasan. Saya putuskan untuk membeli air mineral dan beberapa snack saja,  untuk menghemat pengeluaran. 

Ketika sedang asik makan, tiba-tiba pelayan toko tadi, menyodorkan sepiring nasi, lengkap dengan lauk pauk di dalamnya dan senyuman dari si penjaga toko.  

Setelah menandaskan sepiring nasi dan beberapa cemilan tadi, cerita kembali dilanjutkan. Ternyata beliau sendiri adalah seorang pengendara vespa yang juga baru pulang dari perantauannya. 

Inilah berkah dari ramadhan di perjalanan,  keragu-raguan saya karena takut tidak ditolong, hancur begitu saja, ketika keramahan di jalanan saya dapatkan. 

Saya yakin tidak ada politik yang memisahkan persaudaraan, setidaknya dalam hal ini, sesama pengendara vespa. 

Slogan "satu vespa, sejuta saudara" masih lekat dalam hati sanubari, pemilik kendaraan mesin kanan. 

Saya pun melanjutkan perjalanan, diiringi senyum ramah dari si penjaga toko, yang saya yakin dalam hatinya sedang mengatakan "Salam mesin kanan" 

Pelajaran berharga dalam perjalanan ini memberikan kesan, bahwa tali persaudaraan kita sesama bangsa akan tetap terjaga, selagi kita masih memiliki keyakinan. 

Akhirnya "Satu vespa, sejuta saudara" akan terus berkumandang dijalanan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun