Sudah dua tahun belakangan Sidan ingin punya Sepeda. Tepatnya setelah kelas dua Sekolah Dasar. Bahkan dalam tidurnya sering ia bermimpi sedang bersepeda. Dalam posisi berbaring ia mengangkat kedua tangannya, seperti sedang mengekang setang dan juga kakinya terangkat seolah sedang mendayung.
Di Kampungnya, permainan anak-anak memang musiman. Semisal musim main Kelereng, Senapan Bambu (peluru kertas), Kaki Bambu (jangkungan), Baling-baling dll, terakhir bulan lalu anak-anak menumpahkan kebahagiaan pada musim bermain Gasing.
Yang namanya musim, kalau ada berlawan arus pasti menuai kontroversi. Kali ini musim Sepeda, semua anak sudah punya. Kecuali Sidan setiap musim ini hanya bisa menggigit jari. Orang tuanya juga sudah tau keinginannya. Tapi karena suatu hal, belum bisa membeli.
Karena keinginan hatinya belum terpenuhi Sidan menunjukkan pertentangan, tidak patuh pada orang tua, malas sekolah, tidak mau mandi dan juga malas makan.
"Kalau malas sekolah, siapa yang mau beli sepeda," gertak Ibunya suatu pagi melihat Sidan malas-malasan sekolah.
Rangsangan itu tidak membuat ia bergegas, "Musim Sepada kemaren juga gitu," batinnya.
Dengan malas-malasan pagi ini ia mencuci muka. Tidak makan, pula tidak menyisir rambut. Ia langsung berangkat tak kalah malas-malasannya. Apalagi teman-temannya seolah mengasingkannya. Di perjalanan tak ada lagi cerita lain, selain cerita ke mana akan bersepeda sepulang sekolah. "Kenapa tidak cerita PR matematika saja," batinnya, seolah ia suku pelajaran itu.
Sebab itu, kalau tidak saja hari ini ulangan matematika ia akan bolos sekolah, apapun ceritanya. Misalnya, berbelok ke sawah kampung tetangga---bermain dengan pancingan belut yang senantiasa ia siapkan.
Sekali lagi bukan karena pelajaran angka-angka itu ia suka. Melainkan gurunya adalah tetangga. Tenaga honorer karatan, masih bujangan yang bernama Rama. Kalau bolos pelajarannya sama saja mengundang celaka. Pasalnya, orang tuanya sudah menyerahkan bulat-bulat padanya.
"Sidan. Sini bentar."
"Iya, pak."