2.Masalah antre dan minimnya keadaan
Rumah Sakit memang rumah penyembuhan. Selain karena fungsi utamanya sebagai tempat untuk menyembuhkan orang-orang sakit. Namun, karena masih minimnya keadaan, dokter dan peralatan, terkadang ampuh untuk menyembuhkan penyakit menuju budaya antre (terpaksa). Budaya antre harus dipasang lebih awal.
Karena penyakit antre belum sepenuhnya sembuh, maka lebih baik ke dukun samping rumah saja, lebih efesien (waktu dan bisa juga biaya). Kelamaan nunggu, padahal ini sakit kawan. Mikir.
Hal itu membuat mereka lebih memilih jasa dukun yang bisa dikatakan buka praktik dua puluh empat jam. Juga tidak pernah menyarankan untuk merujuk ke luar daerah.
3.Praktiknya yang tergolong mencekam
Seperti bapak saya, yang harus menyodorkan tangan pada petugas Lab untuk diambil sampel darah. Pertama kali bapak saya mengaku takut. Juga setelahnya bapak menyayangkan darahnya yang diambil cukup banyak.
Terlebih, ada juga dukun yang melakukan pembunuhan karakter tenaga medis. Mereka kadang mengampanyekan keangkeran sayat-menyayat (operasi) yang dilakukan. Untuk urusan operasi, dokter memang punya obat penenang dan obat bius. Tapi saya pernah tau kalau dukun juga punya mantra mujarab yang berfungsi serupa.
Masalah praktik, saya juga lebih memilih mengangkat jempol pada dukun patah. Hanya dukun patah saja. Yang lain masih bimbang.
4.Masalah obat
Resep yang diberikan dokter, bisa dipastikan semuanya tidak enak, pahit. Berbeda dengan dukun yang terkadang hanya dengan segelas air putih langsung sembuh. Meskipun ada juga yang tidak enak dan menjijikkan.
Khusus pasien gratis, terkadang saat pengambilan obat, apotiker malah kembali menyodorkan kembali catatan resep yang tidak ada. Yang lebih konyolnya, apotiker itu malah menunjuk (menyarankan) Apotik swasta yang menjual obat itu.