Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Singkat, "Hajar Saja Asal Tidak Jadi Sampah"

12 September 2017   16:28 Diperbarui: 12 September 2017   18:21 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber tulisan Pak Tjipta: http://www.kompasiana.com/tjiptadinataeffendi21may43/59a6208f59b130081b21caf2/tugas-guru-adalah-mengajar-dan-mendidik-bukan-menghajar

Setelah membaca tulisan Bapak Tjiptadinata Efendi yang menggugah (30/08/2017), saya pun teringat kisah lalu saat belajar. Yang mana sangat bertolak belakang dengan cara Pak Tjipta mencipta murid-murid beliau, antara saya diajar di kondisi yang agak keras dan Pak Tjipta mengajar lemah lembut.

Kemudian saya pernah membaca tulisan yang mengutip kata-kata dari penulis "Negeri 5 Menara" yang tersohor. Di Kompasiana juga, tapi sudah lupa judul dan penulisnya.

Begini kutipannya: "Setiap kehidupan seseorang punya sisi menarik untuk dituliskan. Mulailah untuk menulis, setidaknya satu buku sebelum meninggal nanti."

Maka, saya pun terinsfirasi menulis ini, yang maaf kalau nantinya mungkin tidak bermanfaat. Tapi saat ini, belum berniat menulis buku. Niat saya hanya sebatas hendak bernostalgia dengan masa silam.

Sekira tahun 1997, hampir sama seperti anak seumuran, saya pun mulai dididik ilmu pengetahuan: ilmu agama dan sekolah. Tahun itu awal saya masuk sekolah, Sekolah Dasar tanpa didahului TK sebelumnya.

Sebenarnya orang tua masih enggan, karena teman seusia belum didaftarkan orang tuanya. Maklum tinggal di pelosok, sedang main saja kemungkinan bisa diseruduk Babi Hutan. Ditambah dengan jarak sekolah sekitar 2-3 KM. Tapi karena saya memaksa. Mungkin karena ada abang yang sudah duduk di kelas tiga jadi teman pergi-pulang, keinginan saya dikabulkan.

Kaku dan dingin hari-hari pertama saya sekolah. Saya cukup iri dengan teman lainnya yang langsung cair. Riang bermain dan tidak gerogi ketika belajar. Guru-guru kami cukup ramah, walau pun kadang suka membentak sambil menggebrak meja.

Hanya ada tujuh guru di sekolah kami. Satu kepala sekolah dan enam lainnya memegang masing-masing satu kelas. Kalau seandainya ada guru yang berhalangan, kepala sekolah yang menggantikan. Dan kalau kepala sekolah juga tidak hadir, atau ada dua guru yang berhalangan, guru yang hadir memberi tugas cuma-cuma yang setelahnya langsung mengajar kelas yang bersangkutan.

Sekolah kami hanya berbentuk aula. Di setiap sudut bangunan yang sejatinya Balai Kampung itu di tumpuk-tumpuk per kelasnya. Tanpa disekat. Jadi bukan hanya suara kelas lain yang jelas terdengar. Tapi batang hidungnya pun kelihatan utuh. Ya, tak apa, namanya juga sekolah darurat.

Hanya terpisah 2 Meter saja dari tumpukan kelas lainnya. Misalnya, tumpukan kelas satu hanya berjarak dua meter ke tumpukan kelas dua di bagian Timur. Seterusnya tumpukan kelas dua berjarak serupa ke tumpukan kelas tiga di bagian timur pula. Kelas dua diapit oleh kelas satu dan tiga.

Begitu pula di bagian utara deretan kelas satu, dua dan tiga yaitu kelas empat, lima dan enam. Deretan satu dan dua saling belakang yang lumayan jauh, lima meteran, juga tanpa disekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun