Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyangsikan Negeri Ini Serpihan Surga

13 Juni 2017   13:45 Diperbarui: 13 Juni 2017   13:57 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://tabloidsahabatpetani.com/

Siapa yang tidak suka tinggal di surga? Walau pun saat reinkarnasi nanti, seperti kata orang-orang dan saya akui juga, memang belum pasti. Tapi saya kira kita semua mau. Terbukti sebagian saudara kita ada yang rela bunuh diri dengan janji merengkuhnya. Saya pun berdo'a, meski tentang 'langit' kita saling sikut di dunia, semoga kita semua masuk surga yang tidak beda jauh alias serupa. Atau biarlah saya ditingkat bawah dan anda di tingkat lebih tinggi. Aamiin.

Seperti kita ketahui, negera Indonesia sering dijuluki sebagai negeri serpihan surga yang terlempar ke dunia. Maka dari itu, saya kira memang wajar kalau negeri sebrang menyimpan bara iri dalam hati. Jadi, sudah sewajibnya kalau kita menyukurinya. "Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang berkuasa atas segala makhlukNya."

Negeri kita memang kaya. Tongkat saja bisa jadi tanaman. Jadi, bukan di negeri kita tempatnya kalau rakyatnya masih ada kekurangan vitamin dan gizi-gizian dari buah dan sayuran.

Negeri kita memang kaya. Cukup kail dan jala menghidupi. Ya, saya kira kita semua setuju dengan berlimpahnya ikan di lautan. Kalau seandainya ada nelayan yang kesulitan memenuhi kebutuhan dapur. Apalagi tidak mampu memperbaiki peralatan tangkap ikan dan membeli bahan bakar sampan. Itu juga jelas tidak ada di negeri kita.

Negeri kita memang kaya. Rerumputan pakan ternak tumbuh subur dimana-mana. Ikan raksasa berenang ke tepian pantai. Andaikata ada rakyatnya kekurangan protein hewani atau semacamnya, wajar saja kalau kita menuding itu bukan manusia terlahir di negeri kita. Apalagi tidak pernah mengunyah daging, ah, itu ngaco kawan.

Negeri kita memang indah. Pasir putih berkilauan terhampar di sepanjang pantainya. Mudah saja memanjakan jiwa dikala pagi dan Senja hari.Gunung-gunung diatas awan menjulang dimana-mana. Keasrian hutan membuat hati melayang dengan adonan tambahan nyanyian alam. Wihh, asyik.

Adakah yang bantah negeri kita serpihan surga? Lo, itu hanya yel-yel belaka, tak lebih hanya untuk menghibur diri kita yang sedang melarat dan saling tuding dalam keberagaman. Titik.

Memang benar, kita yang tinggal di negeri tercinta ini jangan gembira dulu dengan label yang tersemat. Pada kondisi seperti sekarang ini, (tentu saja kalau boleh) sebaiknya julukannya diganti sementara jadi “Negeri serpihan neraka”, saya katakan sementara karena siapa yang tau hari esok.

Sebab kenyataannya kondisi kita jauh dari kabar utupisnya surga. Bahkan kita mengakui negeri yang tidak dijuluki lebih baik atau sama, malah mendapat kenyamanan ‘surga’. Mestinya tidak begitu, bukan?

Negeri kita yang katanya asri dengan pengunungan hijau menjulang. Padahal asap mengepul menembus ozon. Hutan dikuliti jadi telanjang. Tak ayal pada musim penghujan banjir bandang selalu siaga menyapu rata. Juga tak jarang tersiar kabar betapa karamnya tubuh pantai.

Lain lagi manusianya. Para petani yang jumlahnya bejibun, tidak bisa menikmati gurihnya daging karena tidak dapat alat tukar memadai. Karena stabilitas harga hasil pertanian kadang, rela atau tidak, perlahan ‘membunuh’ mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun