Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Ketika Sepatu Pantofel Lebih Berdaya Magis daripada Isi Otak

23 November 2016   12:40 Diperbarui: 24 November 2016   09:47 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Enzinov.com

Di daerah penulis begitu kentara dengan anomali ini. Lebih baik menjadi honorer dengan gaji kecil daripada mengelola usaha atau bertani yang perbandingan pendapatannya bisa berlipat-lipat. Mereka ini 'lebih memilih gaya ketimbang jajan'. Perihal cara--- Almarhum KH. Zainuddin MZ mode on---jujur saja mah sampai kapan? #Hikz

Dengan honor sekitar Rp. 500rb/bulan di masa ini, walaupun masih terisolir rasanya tidak cukup. Bagaimana mau cukup, paket Smartphonenya aja Rp. 100rb, lain lagi uang rokok, bensin dan tentu biaya untuk menenuhi gaya kekinian: traktir pacar. 

Lebih parah dan memalukakan lagi, untuk menutupi kekurangan, pemuda penerus ini tidak malu menyodorkan tangan pada orang tua dari dulu ketika masih balita, toh memang orang tua juga mendukung demi kedudukan keluarga.

Pedoman aneh orang tua yang punya anak tamatan perguruan tinggi harus bekerja dengan penampilan enak dilihat oleh mata---setidaknya menggunakan seragam ---telah berakar urat, dan siap diestafetkat. Mereka lupa dengan khotbah katib jum'at lalu, bahwa Rasulullah SAW telah menyatakan pada sahabat menilai baik buruk seseorang bukan dari tampang.

Selain sarjana, pedoman ini menjadi ganjil di mata anak-anak sekolah. Menurut mereka bergelut di dunia pendidikan semata-mata hanya untuk kerja. Sebagian mereka jadi malas sekolah karena kondisi orang tua tidak mampu melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.

Pemaksaan kehendak tersebut menjadi sangat tidak enak dipandang. Kantor-kantor pemerintah dipenuhi pegawai honorer, yang belum tentu bekerja dengan benar, atau tidak sesuai kebutuhan. Di sini pihak penerima mendapat tanda tanya besar.

Di puskesmas kecamatan daerah penulis misalnya, baik ada pasien berkunjung atau tidak, suster-suster penuh sesak hingga kursi pun tidak mampu dipenuhi Puskesmas. Kadang penulis dan pemuda lainnya belajar akting, pura-pura sakit agar dapat mencuri pandang pada 'Bidadari-bidarari' yang berkeliaran. Siapa tau dapat bermain mata. #hadoh.

Di lain posisi masih banyak terlihat pegawai dengan seragam Pemda dan masih jam kerja berkeliaran di tempat umum. Seolah negeri ini tidak ada masalah lagi untuk diselesaikan. Padahal masih tercatat kabupaten miskin oleh BPS, lain lagi tentang rendahnya mutu pendidikan yang sudah bisa dikategorikan kronis. Ah, mungkin saja mereka dinas luar? Iya sih.

Tapi kalau ibu-ibu berseragam PNS yang barusan masuk jam 9 pagi tadi, sekarang ini pada jam 10 sudah nongkrongin anak di gerbang TK, dan belum tentu balik kantor lagi, apa punya surat izin juga ya? Ah, itu lain cerita. #Hekz!

Fenomena pemenuhan narsis (tidak benar) ini menjadi keanehan tinggi sebagai ciptaan Tuhan yang punya otak. Lebih absurd lagi jika merengkuhnya tidak murni, dan paling parah tidak bisa kerja. Bukankah absurdisme tingkat 'dewa' terlihat di kejadian ini? Di mana ada pemaksaan kehendak dengan menghalalkan segala cara, dan pemegang takdir dengan mudahnya menakdirkan.

Sekali lagi sebuah tanda tanya besar untuk pemangku kuasa. Loe pade pelayan rakyat, jangan mengaduk-aduk air yang memang sudah keruh, tapi berusaha menjernihkan! Untuk pemburu-termasuk saya, hikz- yakinlah hidup bukan semata-mata tentang 'penampilan', walaupun di lain pandangan memang penting adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun