Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Ketika Sepatu Pantofel Lebih Berdaya Magis daripada Isi Otak

23 November 2016   12:40 Diperbarui: 24 November 2016   09:47 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Enzinov.com

Penampilan menarik, rapi memang di zaman yang sudah menggaungkan modern ini adalah pilihan utama. Berpenampilan menarik diindentikkan dengan sukses. Berbanding terbalik dengan zaman dulu, tampilan bersih bisa jadi orang pemalas dan tentunya dibenci. 

Kumel merupakan ciri orang pekerja keras, dengan catatan bukan kaum juragan, tapi jelata. Di zaman ini berpenampilan agak awut-awutan---masih sopan---berpeluang besar dikucilkan dalam ranah sosial. Lebih parah lagi bisa dicap stres. Pasti menjadi sasaran bullian jika tidak mengikuti perkembangan fashion. Seolah wajib saja.

Pada era ini, fashionable merupakan rujukan dasar dalam menentukan derajat manusia. Seakan-akan jika ia pergi bekerja mengenakan sepatu pantofel dan berbaju dinas, pasti oye! Perihal 'otak' dan penghasilan dikesampingkan.

Seorang gadis yang dianugrahi cap Pemda, perawat dan bidan, atau menjadi staf di suatu kantor---gak jelas kantornya---pasti berdaya 'jual' tinggi dibanding gadis biasanya. Pihak wali tak akan melepas hanya dengan besaran mahar sama dengan gadis yang menurutnya berderajat lebih rendah. 

Selain itu pihak pelamar juga dinilai kekiniannya. Menjadi pembenar, agar jangan coba-coba melamar gadis berderajat seandainya kamu cowok biasa. Hal ini terutama di daerah-daerah. Terkhusus daerah penulis.

Oleh sebab itu, pria dan wanita yang telah melalui pendidikan tinggi berlomba dengan segenap jiwa dan raga untuk mendapatkan nilai plus tersebut. Didukung oleh orang tua, baik dengan panjatan do'a dan limpahan material tak terhingga siap dihanguskan, maupun pelobian pada pemangku kuasa. 

Semua itu juga demi martabat baik di mata masyarakat. Pemakzulan itu menjadi ringan akan tetapi berat dengan kondisi negeri kini, yang super koruptif, manipulatif dan nepotisme. Ringan bagi yang dekat dengan 'bara' dan bergelimang harta, dan berat bagi sebaliknya. Ditambah dengan adanya pesta demokrasi akan berlangsung. Hal ini menjadi senjata jitu untuk 'sosok' yang sedang 'berjudi'. Menarik perhatian pemegang hak suara dengan modal 'jika nanti' lolos dan bisa ditebak pihak seberang akan jadi korban.

Melihat peta perpolitikan begitu berperan di semua lini, sebagian mahasiswa jadi berpikir bahwa isi otak tidak penting untuk memperoleh pekerjaan, dan mengamalkannya. Uang dan kedekatanlah pegang peranan. Tiba-tiba pada waktunya, tanpa usaha berarti sebelumnya, mereka lulus. Bisa jadi IPK yang tertera di ijazah lebih meyakinkan dibanding temannya---sudah jelas menumpahkan keringat untuk mendapatkannya.

Pemenuhan hasrat narsisme ini juga menjadi sangat ironis di saat negeri ini kekurangan 'nutrisi', di situ pula semua merenggek menyusu pada Ibu Pertiwi, padahal tubuh ringkih si ibu sedang diisap 'hantu' dengan begitu rakusnya, membabi buta menimbun energi, dituju untuk generasinya agar sampai 'kiamat' tidak kelaparan.

Di mana para "pemburu hantu" yang disewa dengan mudah dikibuli, bahkan oleh hantu yang masih lugu. Hingga menjadikan anak yang kurang asupan 'ASI' berubah wujud, meniru cara hantu dengan dampak lebih menyakitkan.

Bersandar saja tanpa mencari formula baru untuk mengubah kekurusan menjadi kegemukan---yang nantinya menjadi daya 'bernafas' dan mengayomi lebih. Jangankan mencari formula baru, yang sudah tersedia, hanya tinggal melarutkan saja dengan proses singkat dapat menjadi suntikan 'vitamin' untuk Ibu Pertiwi diabaikan, alasannya gengsi. "Mosok sarjana bertani, nambal ban dll?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun