Mohon tunggu...
Iwan Kurniawan
Iwan Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Keluarga Petualang

Keluarga Petualang. Pengajar di perbatasan Kabupaten Cianjur-Kabupaten Bandung. PRAMUKA. Hiking, camping and climbing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hadiah dari Ibu, Pusaka Pencetak Sarjana

1 Januari 2018   15:01 Diperbarui: 1 Januari 2018   15:14 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Barang rongsokan itu. Sudah karatan, buat saya saja, Pak." Katanya santai.

"Sembarangan! Ini jimat pusaka leluhur saya, Mang!" Nada suara saya meninggi. Membuat Si Amang mengkerut dan segera berlalu bersama karung berisi rongsokan hasil perburuannya.

"Sudah lapuk, rusak lagi. Jual saja ya? Mana tidak ada tempat lagi. Rumah kita kan sempit." Suara istri membujuk demikian bukan sekali-dua kali. Mengeluhkan keberadaan mesin jahit tua yang katanya makan tempat.

Sejak sering diminta oleh tukang rongsokan mesin jahit tua itu sengaja saya pindahkan dari teras rumah ke dalam kamar. Selain tidak kena panas dan hujan, saya kira bakal aman dari incaran tukang rombengan pencari besi tua. Eh kini justru istri sendiri yang mengeluhkan kesempitan dengan adanya mesin jahit di kamar. Dilema berat jadinya.

Masih melekat dalam ingatan, bagaimana pahitnya peristiwa 98 ketika runtuhnya rezim orde baru berganti dengan alam reformasi. Dan parahnya disusul dengan krisis moneter yang membuat semua orang menggelepar, bagai ikan kurang air, mabuk kelimpungan.

Bagaimana tidak? Semua orang hidup drastis merasa kesusahan. Harga barang naik, pekerjaan sulit. Pemerintahan sedang goyang membuat kondisi negara terasa tidak tenang. Bagi saya pribadi kenangan pahit itu terjadi tepat bersamaan saat-saat terakhir mengenyam pendidikan SMA. Sudah jatuh tertimpa tangga, bersamaan waktunya pula Tuhan memanggil ayahanda tercinta untuk selama-lamanya ketika saya menghadapi ujian akhir nasional.

Saat lulus SMA teman-teman sibuk mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan. Sementara saya hanya bisa menyaksikan dalam diam. Bukannya tak punya cita-cita seperti mereka namun apalah daya melihat kondisi orang tua yang tinggal ibu seorang diri harus berjuang keras membiayai ketiga anaknya.

Ibu yang selalu ada untuk kami putra putrinya. Dok. Pribadi
Ibu yang selalu ada untuk kami putra putrinya. Dok. Pribadi
Saya yang baru lulus sekolah tak mau membebani ibu karena tahu kakak sulung belum selesai menyelesaikan pendidikannya di bangku kuliah.

Hati mulai bimbang dalam menentukan pilihan antara lanjut sekolah atau bekerja membantu perekonomian keluarga.

Walau dalam hati menggebu ingin melanjutkan kuliah apalagi pada saat itu gelar sarjana menjadi kebanggaan bagi kami yang tinggal di desa. Namun di sisi lain saya punya pikiran tak mau membebani ibu yang hanya mengandalkan gaji pensiun almarhum bapak yang jauh dari kata cukup. Tahu sendiri setelah krisis moneter melanda otomatis semua harga kebutuhan naik drastis. Sementara pendapatan tetap pas-pasan

Sebenarnya ibu tak menghalangi niat saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, beliau malah memberikan pilihan untuk menjual sawah peninggalan ayah sebagai modal kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun