Dua tahun yang lalu, sebelum KPU kelar merampungkan tugasnya, suara-suara penggulingan Jokowi sudah santer terdengar. Lantas, suara itu kembali berisik jelang 20 Mei 2015. Kata yang berisik itu, Jakarta mau di-Mei 98-kan. Jelang 20 Mei 2015, kebencian terhadap etnis Tionghoa disebar lewat media sosial. Suara berisik ini kembali mengganggu beberapa bulan yang lalu. Jadi, tidak ada yang aneh kalau sekarang isu penggulingan presiden kembali berisik lagi,
Presiden memang bisa digulingkan. Bisa lewat makar atau kudeta. Bisa juga lewat parlemen. Kalau lewat makar, pelakunya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang ada di KUHP. Tapi, kalau lewat parlemen, penggulingan presiden sudah diatur oleh konstitusi. Jadi, sah secara hukum.
Beberapa hari yang lalu Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan adanya upaya makar yang akan membonceng aksi unjuk rasa GNPF-MUI yang rencananya digelar pada 2 Desember 2016. Karuan saja, pernyataan Tito ini menimbulkan reaksi keras dari sejumlah pihak yang mendukung aksi 212. Tak ayal lagi, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya Tito pun di-bully sejumlah netizen. Tito bukan saja dianggap menghalangi aksi demo GNPF-MUI yang dikenal sebagai Aksi 212, tetapi juga dicurigai melindungi Ahok.
Apa yang salah dengan pernyataan Tito?
Di mana-mana dan dari waktu ke waktu makar itu tidak gampang. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Tanpa dipenuhinya syarat-syarat itu kedeta atau makar hanyalah omong kosong belaka.
Syarat pertama, adanya momentum. Kalau pada isu-isu kudeta sebelumnya momentum itu tidak ada, kali ini momentumnya sudah ada. Bukan hanya sudah ada, tetapi juga sudah matang. Kalau disamakan dengan masa 1965-an, bisa dibilang “Ibu Pertiwi sudah hamil tua”.
Momentum itu berawal dari kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Sebenarnya kasus ini tidak beda dengan kasus-kasus penistaan agama sebelumnya. Persoalannya, Ahok berbeda dengan pelaku penista agama lainnya. Kalau pelaku lainnya tidak berpredikat sebagai pejabat publik, sebaliknya Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta, gubernur ibu kota negara.
Selain itu, kalau peristiwa penistaan agama lainnya tidak terkait dengan kepentingan politik, kasus Ahok sarat akan kepentingan politik. Saat Ahok diduga melakukan penistaan agama, ia berstatus sebagai calon petahana Pilgub DKI 2017 yang diusung oleh 4 parpol penguasa. Dan, karena momennya bertepatan dengan masa pemilu, maka mau tidak mau kasus ini pun melibatkan masa pendukung masing-masing pasangan calon. Artinya sudah terjadi benturan di tingkat akar rumput.
Benturan di tingkat akar rumput ini bukan saja melibatkan warga Jakarta, tetapi juga warga negara Indonesia lainnya yang tinggal di segala penjuru tanah air. Akibatnya, terjadilah benturan dengan skala besar dan masiv. Benturan antar akar rumput dengan skala besar inilah yang menjadi syarat kedua terjadinya makar.
Saat terjadi kudeta militer di Turki, syarat adanya momentum dan benturan masiv tidak terpenuhi. Saat itu Turki sedang adem ayem. Hanya ada sedikit riak ketidaksukaan terhadap Presiden Erdogan. Itulah kenapa kudeta Turki gagal, kalau tidak mau menyebutnya sebagai kudeta abal-abal alias akal-akalan.
Setelah “bahan baku” kudeta sudah ada. Tinggal bagaimana mengeksekusinya. Bisa lewat jalan konstitusional yang diawali dengan keluarnya mosi tidak percaya dan diakhri dengan pemilu. Atau, pengambilalihan paksa oleh militer.