Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Setelah Dikondisikan LDR, Persepsi tentang Jokowi Makin Buruk

7 November 2016   08:45 Diperbarui: 7 November 2016   08:51 3659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi one man one vote adalah soal persepsi. Sehebat apapun seseorang kalau dipersepsikan buruk maka ia sulit mendapat suara. Demikian juga dengan sebaliknya. Itulah kenapa ada kampanye. Ada kampanye positif. Ada kampanye negatif. Ada juga kampanye hitam. Dalam kampanye para calon dan timsesnya berperang opini untuk membangun persepsi.

Cukup dengan persepsi seseorang tokoh bisa diangkat sebagai presiden, dimenangkan dalam pemilu, atau bahkan digulingkan dari kekuasaannya. Persepsi yang dilemparkan kepada publik pun tidak perlu mengandung nilai-nilai kebebaran apalagi pembuktian secara hukum.

Ada yang tahu apa sebenarnya kesalahan Soekarno? Ada yang bisa membuktikan kasus KKN yang dituduhkan kepada Soeharto? Lantas, kenapa Gus Dur sampai dijatuhkan? Apa kesalahan Gus Dur? Kemudian bagaimana dengan peran pesakitan yang dilakoni SBY saat mengalahkan Megawati dalam Pilpres 2004? Apakah benar SBY didzolimi Megawati?

Karenanya, dalam sistem demokrasi di Indonesia, persepsi sangat menentukan dalam perjalanan karier politik seseorang. Kalah dalam memenangkan duel pembentukan persepsi, habis pula kiprah politiknya.

Masalahnya, keberhasilan dari perang persepsi tidak bisa terbaca hanya dari satu sudut, apalagi kalau berlandasan keberpihakan yang membigotkan diri. Semua sisi harus diperhatikan dan dicermati. Berkeping-keping fakta harus dirangkai. Atau, setidaknya bisa juga dengan menggunakan teori cermin “Kalau saya adalah dia kira-kira apa yang dia pikirkan?”

Lantas, bagaimana dengan Jokowi yang diberitakan meninggalkan Istana Negara sebelum kedatangan pengunjuk rasa. Artikel ini juga menjadi kelanjutan dari artikel tetang persepsi “Dwitunggal Jokowi-Ahok yang diposting sebelumnya.

Istana bukanlah wilayah yang steril dari persaingan antar kelompok dan antar kepentingan. Dan tidak semua orang yang berada di lingkungan Istana mendukung RI 1. Ada orang-orang yang disusupkan. Ada orang-orang yang direkrut untuk menjadi kaki tangan. Maka dari itu, celaka dua belas kalau orang yang disusupkan atau direkrut itu justru menjadi orang kepercayaan RI 1.

Malam hari sebelum 4 November 2016, Jokowi mengatakan kalau ia akan menemui pendemo. Niat Jokowi ini kemudian diteruskan oleh Polri. Kepada media, Polri mengumumkan kalau presiden bersedia menerima 25 delegasi pendemo. Tidak jelas, selain Habib Riziek, siapa lagi nama-nama ke-25 delegasi pendemo itu.

Sebelum tengah hari, Jokowi meninggalkan Istana untuk meninjau sebah proyek di Bandara Soekarno-Hatta. Di sana Jokowi sempat shalat Jumat. Artinya, Jokowi sudah meninggalkan Istana setidaknya pada pukul sebelas waktu setempat.

Selepas Jumatan ratusan ribu demonstran bergerak dari Istiqlal menuju Istana Negara. Kalau melihat perbandingan kapasitas Istiqlal yang dapat menampung 200 ribu jamaah, maka kalau melihat jamaah yang meluber hingga jalan, dapat diperkirakan jumlah pengunjuk rasa melebihi 250 ribu.

Di depan Istana pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya. Semuanya berjalan tertib. Memang sempat terjadi sejumlah provokasi, tetapi pendemo berhasil mengatasinya. HMI yang berbuat anarkis, misalnya, diusir oleh pendemo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun