Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"People Power" untuk Gulingkan Jokowi, Memangnya Bisa?

16 Juni 2016   23:02 Diperbarui: 17 Juni 2016   14:26 11423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo usai mengungkapkan kemarahannya saat menjawab pertanyaan wartawan terkait pencatutan nama Presiden dalam permintaan saham Freeport di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/12/2015). Presiden menilai bahwa tindakan itu melanggar kepatutan, kepantasan, moralitas dan wibawa negara. (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)

Dua hari ini dunia maya, khususnya Twitter, diramaikan oleh #PeoplePower. Tagar ini muncul sebagai ungkapan kekecewaan atas sikap KPK yang menyatakan tidak menemukan adanya tipikor dalam jual-beli lahan RS Sumber Waras (SW). Beberapa hari sebelumnya, lewat sejumlah group Facebook pendukung Prabowo, beredar isu tentang adanya isyarat kudeta yang akan dilancarkan oleh militer.

Sebenarnya, sikap KPK atas kasus SW sudah bisa diperkirakan sejak Maret 2016. Pernyataan-pernyataan beberapa pimpinan KPK yang terkesan membela Ahok menjadi indikasinya. Selanjutnya, serangkaian upaya KPK yang terkesan mencoba menjauhkan Ahok dari kasus suap raperda menguatkan indikasi tersebut. 

Karenanya, ketika pada 17 Mei 2016 Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan adanya temuan baru yang menarik dan KPK yang tengah menjalani tahap final check, pernyataan Ketua KPK itu terbaca sebagai banyolan semata. (Tentang perilaku sejumlah oknum pimpinan KPK terhadap kasus yang melibatkan Ahok sudah saya tulis dalam belasan tulisan sebelumnya).

Seruan #PeoplePower tidak salah. Bagaimanapun tagar itu merupakan wujud dari kekecewaan publik atas perlakuan hukum terhadap Ahok yang dirasa tidak adil. Apalagi, ketidakadilan itu justru ditelanjangi sendiri oleh pimpinan KPK saat mereka rapat dengan Komisi III DPR pada 14 Juni 2016 lalu. Tanpa rasa bersalah sama sekali, pimpinan KPK mengakui kalau lembaga yang dipimpinnya baru akan mengundang BPK. Entah kenapa BPK yang memiliki peran penting dalam kasus SW justru tidak dimintai penjelasannya. KPK pimpinan Agus ini malah lebih nyaman dengan masukan dari ahli yang belum jelas kredibilitasnya.

Padahal, audit investigasi BPK yang menyebut adanya 6 penyimpangan dalam pembelian lahan SW dimintakan oleh KPK sendiri. Tapi, perlu dicatat, kasus ini bermula saat KPK masih dipimpin Plt Taufikurahman Ruki. Dan permintaan audit investigasi kepada BPK pastilah karena KPK telah menemukan indikasi adanya tipikor. Oleh KPK Jilid IV, temuan-temuan KPK pimpinan Ruki dan audit investigasi BPK itu seolah diabaikan.

Ketika rasa keadilan masyarakat luas terusik, pastinya akan menmbulkan reaksi. Jika reaksi tersebut “dikelola” dengan baik, tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan goncangan yang luar biasa dahyat. Goncangan pastinya akan mencari keseimbangannya. Dalam mencari keseimbangannya itu, pihak-pihak yang dituding sebagai pelaku ketidakadilan akan menjadi targetnya.

Di sini akan berlaku hukum alam. Siapa kuat, dialah yang akan menang. Kalau rakyat yang bergejolak yang lebih kuat, ialah yang akan menang. Demikian juga sebaliknya. Sementara, merujuk berbagai peristiwa di mana pun, sikap militer tergantung pada arah angin. Kalau rakyat yang bergejolak itu yang lebih kuat, militer tidak mungkin melawannya, karena akan terjadi pertumpahan darah, bahkan perang saudara. Sebaliknya juga demikian. Peristiwa di Libya, Tunisia, Suriah, khususnya Mesir menggambarkan dengan jelas posisi militer dalam setiap situasinya.

Peristiwa lengsernya Soeharto bisa menjadi cermin kalau kemarahan rakyat tidak bisa digerakkan secara instan. Perlu waktu panjang sebelum Mei 1998. Pada waktu itu bangsa Indonesia terlebih dulu merasakan krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi. Saat itu harga barang-barang melambung berkali lipat. Gelombang PHK terjadi di mana-mana.

Tingkat kriminalitas meningkat. Serangkaian pembunuhan terhadap kyai-kyai NU oleh sekelompok “ninja” di Jawa Timur. Isu pembunuhan terhadap dukun santet di pantai Selatan Jawa. Kondisi sebagian besar rakyat Indonesia ketika itu sedang terpuruk. Ketika rakyat ditunjukkan adanya ketidakadilan berupa praktek KKN, timbullah kemarahan rakyat. Sebagai pelampiasan kemarahan itu, kerusuhan terjadi di mana-mana.

Pertanyaannya, apakah masyarakat luas terusik dengan isu SW? Jawabannya, tidak. Sebab, isu ini hanya menjadi konsumsi sebagian kecil masyarakat. Sementara, sebagaian besar lainnya tidak mengerti atau bahkan tidak tahu-menahu tentang kasus ini. Di Jakarta saja banyak warganya yang tidak mengetahui kasus ini. Karena apa? Karena kasus SW tidak memiliki kedekatan emosional dengan rakyat kebanyakan. Karena tidak memiliki kedekatan emosional ini, kasus SW tidak akan bisa menimbulkan people power sebagaimana yang diharapkan.

Sebenarnya, kasus SW bisa menjadi pemicu kemarahan rakyat kalau sebelumnya sudah terjadi keresahan-keresahan rakyat akibat persoalan yang dihadapinya, khususnya ekonomi. Faktanya, melambungnya harga-harga dan berbagai persoalan lainnya, tidak cukup kuat menggetarkan keresahan rakyat. Maka, seruan people power akan senyap dan lenyap dengan sendirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun