Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hadapi Aksi Unjuk Rasa, Sikap Kemkominfo sudah Tepat

18 April 2022   21:42 Diperbarui: 18 April 2022   21:52 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo 114 di Cirebon (Sumber Dok Pri)

Pada masa periode kedua Jokowi, terjadi blackout di sejumlah daerah di Papua pada 30 April 2021. Namun, sebagaimana yang dipaparkan Johnny, blackout terjadi karena putusnya kabel laut optic fiber milik Telkom Sulawesi Maluku Papua Cable System (SMPCS) ruas Biak-Sarmi, Jayapura berdampak di empat wilayah, yaitu Kota Jayapura, Abepura, Sentani dan Sarmi. 

Sejumlah negara pun saat ini sedang bergulat mencari langkah yang tepat untuk menangani penyebaran disinformasi di platform media sosial. Salah satu yang diambil adalah dengan cara menutup jalur media sosial. Sebelum pemerintah Indonesia menutup akses ke sejumlah platform media sosial, sebulan sebelumnya, pemerintah Sri Lanka telah melarang sementara media sosial setelah pengeboman pada hari Minggu Paskah.

Pendekatan ini bisa dibilang semacam kontra-propaganda yang disebut "benevolent technocracy" atau "teknokrasi yang baik hati". Hal ini dikemukakan oleh ilmuwan politik Harold Lasswell dan kolumnis New York Times, Walter Lippman. Menurut Lippman, pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat rentan terhadap propaganda dan terlalu mudah tertipu untuk mengenalinya.

Meski Konstitusional, Pembatasan Akses Medsos tidak bisa Sembarangan

Namun, pendekatan tersebut bukannya tanpa dampak. Akibat keterbatasan akses, sejumlah kelompok masyarakat mengalami kerugian, misalnya pelaku usaha. Gegara pendekatan tersebut, para pelaku usaha, khususnya UMKM, tidak bisa menjual barang dagangannya secara online.

Selain itu, pendekatan ini pun membuat wajah demokrasi Indonesia tercoreng. Sebab, pembatasan tersebut sama artinya dengan membungkam suara warga negara. Tidak heran bila pemerintah Indonesia mendapat kritik dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk dunia internasional.

Di bawah kepemimpinan Johnny G Plate, Kemkominfo tidak memilih pendekatan keamanan dengan melalui pembatasan akses media sosial tidak dilakukan. Terbukti, sekalipun aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law pada Oktober 2020 berlangsung rusuh selama berhari-hari di sejumlah daerah pemerintah tidak menutup akses terhadap Facebook, Twitter, dan WhatsApp.

Aksi unjuk rasa pada 21 April 2022, meskipun digembar-gemborkan akan diikuti masa yang lebih banyak dari aksi sebelumnya, namun bisa diperkirakan masa aksi nanti jauh lebih kecil. Aksi 214 ini pun tidak bakal sampai menimbulkan kerusuhan sehingga memaksa pemerintah membatasi akses ke media sosial.

Namun demikian, pemerintah perlu mewaspadai aksi yang kemungkinan bakal digelar setelah lebaran 2022. Sebab, pada aksi-aksi setelah lebaran diperkirakan akan diikuti oleh berbagai elemen masyarakat.

Namun, kalaupun nanti perlu melakukan pembatasan terhadap akses media sosial, tindakan pemerintah tetap bisa dibenarkan karena sesuai dengan kontitusi.

Pembatasan akses ke sejumlah platform media sosial itu sebenarnya sudah tepat, bahkan sesuai dengan konstitusi, yaitu Pasal 40 poin 2a UU No 19 tahun 2016 yang mengubah UU No 18 tahun 2008 tentang ITE.

Pasal itu menyebutkan, "Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun