Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tidak Mau Diadu Domba, Indonesia Menolak Gabung Aliansi Aneh "Arab"

21 Desember 2015   14:46 Diperbarui: 21 Desember 2015   14:59 4971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Resminya, Indonesia menolak bergabung dengan aliansi militer bentukan Arab Saudi dengan alasan aliansi tersebut berbasis militer. Pembentukan aliansi yang beranggotakan 34 negara berpenduduk mayoritas muslim ini bertujuan untuk menghadapi ancaman terorisme, khusunya ISIS. Sementara Indonesia tak mengedepankan pendekatan militer dalam menangani ISIS. Begitu yang disampaikan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan.

Aliansi anti-terorisme “Arab” ini berbeda dengan kerja sama Indonesia dengan Iran. Kalau aliansi “Arab” menggunakan militer. Kerja sama Indonesia-Iran tidak menggunakan unsur militer dalam penanganannya. Jadi penolakan Indonesia atas ajakan Arab Saudi tidak ada kaitannya dengan isu Sunni-Syiah seperti yang diopinikan media dakwah.

Bukan saja karena alasan itu Indonesia menolak aliansi gagasan Arab Saudi ini. Indonesia pastinya telah mencium ada udang di balik batu dengan aliansi yang dibentuk secara mendadak ini. Dibilang mendadak kerena, ternyata, ada beberapa negara yang menyatakan terkejut dengan pembentukan alliansi yang diumumkan pada 15 Desember 2015 lalu.

Selain pembentukannya yang mendadak, aliansi ini pun patut dicurigai mengingat sejumlah negara, seperti Iran, Irak, dan Suriah, tidak masuk aliansi. Padahal, sangat tidak mungkin memerangi  ISIS tanpa bekerja sama dengan Suriah dan Irak di mana di kedua negara tersebut ISIS beroperasi. Demikian juga dengan Iran yang memiliki kedekatan dengan Suriah, juga Rusia.

Tetapi, ada sesuatu yang lebih mencurigakan untuk diperhatikan terkait dengan pembentukan aliansi “Arab” yang mendadak serta aneh ini, terutama karena aliansi ini mengedepankan kekuatan militernya.

Perkembangan terakhir, Sabtu kemarin, 19 Desember 2015, kapal perang Moskva telah tiba di lepas pantai Suriah. Kapal perang terbesar yang dimiliki Rusia ini dikirim sebagai jawaban Kremlin atas insiden ditembakjatuhnya SU 24 milik Rusia oleh F 16 milik Turki pada 24 November 2015. Kedatangan Moskva ini telah menambah kekuatan laut Rusia di perairan Suriah. Sebelumnya, Rusia sudah menempatkan 11 kapal di Laut Mediterania.

Merapatnya Moskva di perairan Suriah ini menyusul disiagakannya S-400 oleh Rusia..Penyebaran sistem rudal pertahanan di Pangkalan Udara Hmeimim, Suriah, ini tujuan utamanya untuk melindungi pesawat Rusia agar tak ditembak jatuh lagi. Sebelumnya, pada awal Oktober 2015 Rusia telah menerjunkan pasukannya, termasuk pasukan elit Spetsnaz, untuk memerangi ISIS.

Diterjunkannya militer Rusia tentu saja bukan hanya untuk memerangi ISIS dan kelompok teroris lainnya yang beroperasi di Suriah melainkan juga mendukung Suriah dalam menghadapi pasukan pemberontak Suriah (FSA: Free Syrian Army).

Penempatan pasukan Rusia di Suriah tentu saja menjadi penghalang Amerika dan sekutunya yang sejak lama bernafsu menggulingkan Assad. Sebagaimana yang telah diungkapkan, pasokan persenjataan FSA didapat dari Amerika. Sebagian dari pasokan persentaan tersebut diteruskan lagi oleh FSA kepada ISIS dan beberapa kelompok teroris lainnya, seperti Al Qaeda dan Nusra. Terungkapnya skandal ini menjadi jawaban atas mentahnya serangan Amerika dan sekutunya terhadap basis-basis ISIS. Berbeda dengan Amerika dan sekutunya yang selama berbulan-bulan gagal menghancurkan ISIS, hanya dalam beberapa hari Rusia berhasil memporak-porandakan basis-basis ISIS.

Jadi jelas, di Suriah tengah berhadap-hadapan antara Rusia dan Suriah melawan ISIS dan FSA yang keduanya didukung oleh Amerika berserta sekutunya, termasuk Arab Saudi dan Turki.

Insiden SU-24 Vs F-16 menjadi titik penting dalam konflik Suriah. Insiden tersebut menciptakan front baru antara Rusia melawan Turki. Dalam konfrontasinya dengan Turki, Rusia memanfaatkan strategi komunikasi dengan secara frontal membeberkan keterkaitan Turki dengan ISIS. Tentu saja strategi ini menekan pemerintahan Erdogan, apalagi setelah partai oposisi Turki turut membenarkan informasi Rusia tersebut.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun