Mohon tunggu...
Anwar Ibnu Ahmad
Anwar Ibnu Ahmad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kadang nulis kadang nata buku

Penggerak GusDurian Ciputat

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review Entrok Bagian Dua: Marni dan Gender Equality

27 Januari 2023   10:45 Diperbarui: 27 Januari 2023   11:31 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Entrok Okky Madasari/dok pribadi

Sebagaimana telah disinggung di bagian awal bahwa Marni adalah sosok ibu rumah tangga yang tangguh. Segala jalan telah ia tempuh untuk kehidupan yang sejahtera bagi keluarga dan terutama anaknya, Rahayu. Semula ia pengupas singkong dan diupahi dengan singkong lagi, kuli panggul kemudian beralih sebagai bakulan sayur lalu menjadi rentenir hingga mempunyai hektaran kebun. Marni mempekerjakan banyak tenaga laki-laki seperti supir pribadinya, tukang kebun dsbg. 

Okky Madasari menarasikan bahwa Marni adalah sosok pemecah konstruk sosial berupa perempuan adalah mahluk kedua atau dalam ungkapan lain menempatkan perempuan sebagai mahluk yang 'dikuasai'.  Itu tampak dalam percakapan Marni:

"Ni kamu ada-ada saja. Nggak ada perempuan nguli. Nggak akan kuat. Sudah, perempuan itu kerja yang ringan-ringan aja. Ngupas singkong". Aku kuat kang. Biasanya  aku juga nggendong tenggok, nggendong goni. Bakul-bakul itu juga banyak yang mengangkat sendiri dagangannya dari rumah ke pasar". 

"Aku kuat, Mbok. Lha tiap pulang dari pasar juga nggendong goni. Malah jaraknya jauh, naik turun. Bukan masalah kuat nggak kuat Nduk. Ini masalah ilok ra ilok pantas gak pantas. Nggak ada perempuan nguli"

Potret masa lampau, perempuan-perempuan bekerja dan berdaya (foto netralnews.com)
Potret masa lampau, perempuan-perempuan bekerja dan berdaya (foto netralnews.com)

Percakapan singkat di atas rupa-rupanya hendak memecahkan konstruk sosial dan paham keumuman bahwa perempuan kerja yang ringan-ringan saja. Adalah tidak lazim jika perempuan bekerja semacam kuli dst. Padahal faktanya, Marni demi memenuhi kebutuhan hidupnya, ia memilih nguli di pasar agar diupahi rupiah. Dengan rupiah, ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Soal tenaga kuat atau tidaknya antara perempuan dan laki-laki sesungguhnya sama saja. Bahkan bisa sebaliknya, ada laki-laki yang tenaganya tidak sekuat perempuan. Marni membuktikan itu, dia kuat dan bisa.

Membatasi pekerjaan Marni sama saja membatasi potensi dan keutuhan dirinya sebagai manusia. Marni menunjukan bahwa perempuan bukanlah mahluk yang dikuasai. Ia mampu memilih, mempertimbangkan, dan memutuskan pilihannya sendiri. Ia melawan konstruk sosial. Terbukti, kelanjutannya Marni menjadi penafkah utama. Satu hal yang dianggap jarang pada waktu itu. Perempuan bisa menahkodai ekonomi keluarga.

Teja suami Marni, alih-alih menjadi pundak ekonomi keluarga, malah tidak punya andil banyak. Bahkan Teja tidak pernah tahu apa yang dikulak, berapa keuntungannya, terjual berapa dan rugi berapa. Asal yang penting bagi Teja, bisa membeli rokok lintingan dan kopi itu sudah lebih dari cukup. Taraf hidup Marni makin membaik, dari rumah gendekan jadi rumah bertembok dari satu sawah lahir ke sawah lainnya.

Gender Equality

Dari kisah Marni dapat ditengahkan persoalan gender equaltiy yakni terjadinya paham bahwa perempuan adalah mahluk kedua setelah laki-laki. Ini dapat kita lihat dari konstruk sosial yang sudah disinggung di atas. Konstruk sosial yang menciptakan pandangan bias gender akan melahirkan tatanan hidup yang  tidak adil. Padahal, adil, berkeadilan, sikap adil dan segala turunannya adalah nafas dari segala ajaran agama. Di tempat terpisah, cendekiawan muslim Nurcholish Majdid menegaskan demikian: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun