Mohon tunggu...
Anwar Ibnu Ahmad
Anwar Ibnu Ahmad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kadang nulis kadang nata buku

Penggerak GusDurian Ciputat

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review Novel Entrok Bagian Satu

26 Januari 2023   09:03 Diperbarui: 28 Januari 2023   10:12 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrok Okky Madasari. Dok. pribadi

         

Belum lama ini baru saja saya menuntaskan novel karangan Okky Madasari "Entrok" judulnya. Terus terang, pengarang Okky Madasari bagi telinga saya masih terbilang asing, tidak begitu akrab. Entahlah, kenapa saya spontan membeli novel Entrok setelah membaca review orang lain. Semacam ada rasa penasaran yang membuncah tak tertahankan.  Padahal jauh-jauh hari suara hati bilang begini "Kapan baca buku Cantik Itu Luka". Setelah ini barangkali atau entah kapan.

Sebelum Entrok, karangan Mas Zastrouw "Gus Dur Siapa Sih Sampeyan" sudah saya rampungkan. Untuk reviewnya semoga bisa menyusul. Selain tadi, buku autobiografi garapan kyai yang sekaligus jurnalis, Saefuddin Zuhri "Berangkat Dari Pesantren" akan menemani saya selama satu tahun ke depan. Ini menarik, menikmati periodesasi perjalanan panjang sejarah Saefuddin Zuhri.

Ok begini review pembacaan saya atas novel Entrok.

Membaca Entrok berarti menyaksikan deretan penderitaan dan kasih ibu yang tiada akhir. Demikian pikiran yang terbesit sesaat setelah saya menuntaskan Entrok. Entrok adalah nama lain dari BH, sebuah perangkat untuk menahan buah dada dari seorang perempuan. Novel ini berisikan cerita rentangan tahun 50 hingga 90-an dengan latar perkampungan di daerah Madiun. Secara garis besar, entrok ini berikisan kisah dua generasi antara ibu dan anak yakni Marni dan Rahayu. Di novel ini, kita disuguhi dari dua penutur cerita sekaligus, kadang-kadang Marni di lain waktu anaknya, Rahayu.

Marni lahir saat keadaan belum mapan seperti sekarang, untuk makan esok hari saja harus menguras peluh keringat. Saat beranjak dewasa Marni merasakan ada sesuatu yang beda dalam tubuhnya, ia merasa buah dadanya kian hari semakin membesar ia tidak nyaman apalagi saat berlari. Satu ketika ia melihat saudara perempuannya, Tinah, mengenakan Entrok. Disitulah Marni tertarik untuk mempunyai Entrok.

"Paklik, aku pengin punya entrok kayak punya Tinah" pinta Marni pada suatu hari. "Nduk, entrok itu mahal. Mbok mending duitnya buat makan" jawabnya paklik. "Wong, aku nggak pernah pakai entrok juga gak apa-apa" timpal istrinya.

Begitulah kira-kira. Mata air Marni menetes mulutnya terkunci rapat-rapat. Ia tinggalkan rumah dengan rasa penuh kecewa dan marah. Akhirnya Marni mencari jalan lain, ia ikut bekerja di pasar demi entroknya terbeli. Mula-mula ia berkerja sebagai buruh pengupas singkong. Ia digaji tidak dengan duit tetapi dengan singkong lagi. Dirasa tidak memuaskan Marni mulai mencari jalan lain, ia pilih jadi kuli angkut pasar. Setiap rupiah Marni kumpulkan. Waktu berjalan, Marni tumbuh menjadi wanita yang gigih pekerja keras. Pengupas singkong, kuli panggul, bakulan dan lainnya ia lewati. Dengan kerja kerasnya, Marni bisa bangun rumah punya pembantu hektaran sawah dan kebun tebu.

Narasi Marni melawan stigma masyarakat sukses membuat penyadaran bahwa perempuan bukanlah mahluk kedua, bukanlah objek tetapi subjek. Marni dengan pekerjaannya sebagai kuli panggul pasar dicibir seisi pasar. Paham yang beredar saat itu bahwa kuli panggul hanya dikerjakan oleh laki-laki. Marni melawan stigma "Ra Ilok". Sebuah paham bahwa perempuan tidak pantas bekerja sebagai kuli panggul. Berikutnya, Marni dengan keberadaannya sebagai perempuan, ternyata bisa menjadi tulang punggung keluarga. Malah, ia berdiri tegap memperkejakan tenaga laki-laki di kebun tebunya.Teja suaminya, alih-alih menjadi penafkah utama malah leyeh-leyeh rokokan bersama pekerja yang lain.

Kini Rahayu anak pertama Marni, Rahayu kecil berbeda dengan Marni. Rahayu kecil disekolahkan sampai menjadi sarjana. Finansial yang mapan mencukupi segala kebutuhan. Rahayu digambarkan sebagai anak yang teguh pendirian. Soal keyakinan, Rahayu berbeda dengan Marni. Marni teguh dalam kepercayaanya "Ibu Bumi Bapa Kuasa". Sementara Rahayu, percaya kepada Tuhan semeseta. Rahayu berdoa lima kali dalam sehari. Saat petang, Marni tidak lupa petapa di bawah pohon memuja dan meminta kesejahteraan hidup. Rahayu, sebagai generasi yang berbeda ia kerap kali bertengkar dengan ibunya. Rahayu anggap ibunya adalah penganut ajaran sesat.

Marni dan Rahayu adalah dua orang yang terikat darah namun menjadi orang asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun. Bagi Marni, Rahayu adalah manusia tak punya jiwa. Bagi Rahayu, Marni adalah pendosa. Keduanya hidup dalam pemikiran masing-masing tanpa pernah ada titik temu. Begitulah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun