Mohon tunggu...
Anwar Ibnu Ahmad
Anwar Ibnu Ahmad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kadang nulis kadang nata buku

Penggerak GusDurian Ciputat

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resensi Buku "Guruku Orang-Orang dari Pesantren"

4 Agustus 2021   13:22 Diperbarui: 4 Agustus 2021   13:33 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

 Belum lama ini saya meresensi buku Di Larang Gondrong, kali ini saya kembali sedikit meresensi salah satu buah tangan karangan Kyai Saefuddin Zuhri "Guruku orang-orang dari Pesantren" begitu judulnya. Sebetulnya buku ini sudah lama saya sudahi, kalau tidak salah antara semeter 3 ato 4 waktu itu saya masih ngekos di gang Buntu, pojok jalan di pesanggrahan. Sudah lama tentunya, samar samar terasa dalam ingatan saya isi dari buku ini, sebab itu semingguan ini saya membaca kembali di bagian-bagian tertentu saja-sekedar menyegarkan ingatan. Temen-temen, buku ini tidak melelahkan-njilimeti saat dibaca, ditulis dengan sepolos mungkin dan disajikan dengan bahasa sesederhana mungkin. Ngalir aja misal udah dibaca. Silakan rasakan sendiri. ehehe

 Di bagian awal buku ini, pembaca di hadapkan dengan suasana pedesaan tahun 20an yang gersang jauh dari perkotaan, salah satu desa di kota Banyumas, Sukaraja namanya. Buku ini berupa otobiografi menceritakan perjalan hidup dari kyai Saefuddin Zuhri sejak kecil sampai dewasa. Berawal dari sekolah ongko loro/ SR, Kyai S Zuhri ingin melanjuti ke Madrasah terfavorit kala itu, Madrasah Huda Nahdlatul Ulama. Keinginannya tidak serta merta di iyakan, karena biaya yang belum mencukupi, ayahnya mesti mengeluarkan uang sebesar 25 sen perbulannya. Inilah yang jadi kendala. Tapi pada akhirnya setelah lewati diplomasi antara ayah ibunya, Kyai S Zuhri bisa melanjuti di Madrasah tsb. Madrasah ini di ketuai oleh ustadz Mursyid, ustadz muda yang alim tegap juga tampan wajahnya.

 Pada tahun 28nan setiap sebulan sekali di desa itu rutinan pengajian khusus para kyai se jawa tengah, semua para kyai, berpuluh-puluh, berkumpul. Masyarakat kecil tua muda berduyun-duyun join ngaji. Kitab yang dibaca bukan sembarang kitab, kitab babon seperti Hikam Athoilah, Ihya, hadis Bukhari, tafsir Baidowi. Semua menyimak dengan seksama, sesekali salah baca langsung ramai saut-sautan. Aktivitas-aktivitas yang seperti ini, masih bisa kita jumpai di tiap-tiap pesantren sampe sekarang. 

 Setelah lulus dan mengabdi di madrasah Huda, ketika berusia 18 tahun Kyai S Zuhri melajuti studinya di kota Solo. Di kampungnya berlaku anggapan sperti ini, pemuda beluman dibilang moncor, kalo beluman pergi belajar ke daerah lain. Di pililah kota Solo, alasannya karena di sana pusat Jurnalis dan wartawan nasional juga berkedudukan Perdi (Persatuan Jurnalis Indonesia). di samping mau mendalami lagi ilmu agama, Kya S Zuhri rupanya tertarik di dunia penulisan. Kesempatan ini ia tidak sia-siakan, selama tinggal di solo Kyai S Zuhri menjadi kontributor aktif/koresponden di beberapa surat kabar dan majalah nasional seperti Suara Ansor Nahdlatul Ulama dll. Hasil honorarium dari sini cukuplah buat beli rokok.

  Siapa sangka keaktifan Kyai S Zuhri menulis di surat kabar-majalah ini mengundang hati seorang tokoh besar, KH Wahid Hasyim. Pada suatu hari di tahun 1939an, S Zuhri menerima sepucuk surat yang datang dari sosok tokoh besar, pemuda cerdas anak dari K Hasyim Asy'ari, betapa tertegun dan senangnya S Zuhri, mendapati surat dari sosok yang ia idola-idolakan sebelumnya. Singkatnya, Kyai Wahid Hasyim meminta untuk bertemu di Jombang-Tebu Ireng untuk membicarakan persoalan penting. Disini Kyai S Zuhri juga sempat bertemu dengan KH Hasyim Asy'ari. Sejak dari pertemuan ini, akan berlanjut di pertemuan-pertemuan berikutnya, seperti di zaman revolusi, sebuah tahap baru perjuangan. Surat menyurat tak ada putusnya antara mereka berdua.

 Di bawah penjajahan seumur jagung. Satu waktu di tahun 42an S Zuhri menerima surat dari Kyai Wahid Hasyim agar menemui beliau di Jakarta, ada tugas baru tentunya yang ia akan terima. "Aku ingin memberitahukan kepada saudara bahwa suatu tahap baru dalam perjuangan kita harus mulai sekarang" demikian kata Wahid Hasyim. Setelah belanda boyong dari indonesia, giliran jepang datang. Belanda terusir oleh Jepang, Nah kini kita memasuki tahapan baru dalam perjuangan, yakni menghadapi Jepang sebagai penjajah baru. 

 Saudara ingat dongeng-dongeng al-Baidaba tentang cerita dunia Binatang. Singa dan harimau sebagai raja hutan, toh bisa dikalahkan oleh si kancil, dan kancil masih dikalahkan oleh siput-siput yang bersatu!" ujar Wahid Hasyim, kemudian beliau meneruskan, begini, kita pakai ini ! sambil menunjuk ke keningnya, "kita harus memakai otak dan pikiran. Kita bisa menjadi "kancil" dalam menghadapi segala singa dan serigala. Dan saya akan mengubah teori al-Baidaba janganlah kancil bermusuhan dengan siput, tetapi harus bersahabat. Ya, kalau saya sendiri tentulah tidak akam bisa menjadi "kancil" yang berhasil mengelabui singa dan serigala. Akan tetapi, kalau kita kaum ulama bersatu, insyallah akan jadi "kancil". Demikian teori perjuangan yang diusul oleh Wahid Hasyim.

 Sejak dari itu, S Zuhri berkampanye meratakan pandangan kepada seluruh Kyai se-jawa, S Zuhri berkampanye tahap baru sebuah perjuangan, penjajahan jepang yg cuma seumur jagung. Dari sini lahir TKR, pasukan Hizbullah, Sabilillah pemuda-pemuda santri semua dikerahkan. Konsolidasi penguatan, manata pasukan dan strategi terus digencarkan.. sampai di akhiri perlawanan gerilya kyai S Zuhri terbentang dari purworejo, magelang, parakan, wonosobo temanggung, Kyai S Zuhri selalu berenti sementara di ndalem-ndalem kyai. Merdeka !

 Terakhir, lahirnya buku ini tidak semata-mata tanpa alasan, buku ini dibuat karena pemintaan salah seorang kawan Kyai S Zuhri anggota dewan seorang sahabatnya yakni, Drs H. Asrul Sani, ia meminta agar S Zuhri menulis alam pesantren. tetiba saja saya teringat,  ulama-ulama dulu, ada saja di bagian awal kitabnya cerita, bahwa kitab ini dikarang berdasarkan permintaan seorang kawan. Nawawi Banten misalnya dsbg.

 Kemudian buku ini hadir melampui zamannya, dalam artian ia hadir disaat karangan-karangan otobiografi ini sangat langka ditulis oleh kalangan dunia pesantren terlebih dari tokoh-tokoh luar pesantren. Kemudian biarpun otobiografi, di dalamnya bukanlah kyai Saefuddin Zuhri yang tampil menjadi sentral perhatian, melainkan pernak-pernik mozaik kehidupan pesantren. Kyai Saefuddin Zuhri sukses menggeser citra negatif pesantren yang dianut sebagian masyarakat kala itu. sekian terimakasih

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun